Oleh: Bang Oemar
Bagi kita yang pernah nyantri di pesantren, pasti juga pernah merasakan beberapa episode kehidupan yang sangat berkesan. Pernah tinggal satu komplek dengan orang-orang yang baru kita kenal. Tidur satu kamar dengan teman-teman yang beragam. Bukan saudara, bukan kerabat. Namun akhirnya dipersaudarakan oleh guru dan ilmu. Sebagaimana kata ulama, “Al ilmu luhmatun ka luhmatin nasabi”.
Episode lain adalah tentang kesederhanaan dan keserba-kekurangan. Bagi yang tidak pernah mondok, situasi ini terasa miris. Tidur berdesakan dalam satu kamar sempit diisi oleh puluhan santri berjubel. Tak sedikit yang akhirnya ngungsi tidur di teras masjid. Atau air kamar mandi yang sering mati, sehingga para santri terpaksa harus melumuri tubuh dengan handbody sebagai pengganti mandi ketika mau ngaji. Atau ketika persediaan air minum yang terbatas, sehingga terpaksa air kran diserbu oleh ribuan santri yang sedang kehausan. Dan banyak cerita kebersahajaan lainnya.
Waktu mondok, saya sering tidur di teras masjid. Disamping karena isis, juga sekalian nunggu mangga yang berbuah lebat jatuh di depan masjid. Mangga manalagi, impian para santri sehingga harus dibelain tidur di teras masjid. Apalagi ketika musim angin, teras masjid sudah antri di kavling sejak sore dengan cara menaruh kitab dan bantal. “Gedebuk”, ketika suara ini terdengar semua terbangun. Mengira buah mangga yang jatuh, padahal batu bata yang sengaja dilempar oleh santri senior untuk ngeprank para santri yang “sedang i’tikaf” di teras masjid.
Sewaktu di pondok, kaum santri tidak pernah berpikir kelak akan jadi apa. Karena itu termasuk “thulul amal” atau panjang cita-cita yang dianggap tabu. Apalagi, kepadatan jadwal ngaji dan banyaknya setoran hafalan membuat kaum santri tidak pernah berpikir tentang masa depannya. Yang penting setoran Mahfudzat, Waroqot, Abdaubis, Imrithi, Alfiyah, dan nadzam-nadzam lainnya lulus, itu sudah membuat santri senang bukan kepalang. Yang mendominasi pikiran santri adalah kapan kiriman datang? Itu saja, sederhana sekali.
Ketika santri ditanya, “Kalau kamu mondok, nanti mau jadi apa?” Pasti si santri tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan penanya. Karena memang santri murni mencari ilmu untuk menjalankan perintah agama, bukan untuk mencari keuntungan dunia.
Hal ini berbeda dengan para pelajar yang sengaja mencari ilmu sesuai dengan tuntutan kerja yang linear. Sehingga sejak awal sudah dimasukkan ke sekolah yang ada fasilitas kejuruan serta menyiapkan anak didiknya untuk jadi pekerja. Santri tidak demikian. Santri fokus ngaji, hafalan, dan khidmah.
Namun kelak setelah keluar dari pondok, para santri kemudian menyebar ke berbagai penjuru. Gaya hidup bersahaja semasa di pesantren telah menempa mental mereka untuk bisa survive menjalani kehidupan. Sehingga kaum santri selalu siap dan bisa menempati posisi apa saja dan dimana saja.
Penyebaran kaum santri cukup merata. Mulai dari guru TPQ di kampung, pedagang di pasar, akademisi di kampus, birokrasi di kantor pemerintahan, pengusaha, dai di pedalaman dan perbatasan, dan tentunya kiai pengasuh pesantren. Bahkan tidak sedikit para santri yang kini jadi menteri.
Tak berlebihan jika saya katakan, “Santri hari ini, adalah menteri masa depan”. Atau, “Santri hari ini, duta besar yang akan datang”. Atau, “Santri hari ini, presiden masa depan”.
طلبة اليوم وزير الغد
طلبة اليوم سفير الغد
طلبة اليوم رئيس الجمهورية الغد
Selamat Hari Santri 2021
~ Jedong, 22 Oktober 2021
√ Bang Oemar; santri pengkhidmah yang kini dapat amanah memangku Pesantren Darma Nawa di desa Jedong Malang