Sang Pendidik Itu Telah Pergi: Sebuah Obituari

Penulis: Hikmah Imroatul Afifah

Pagi itu –medio 2015– adalah kali pertama saya bertemu dengan beliau di mata kuliah Telaah Materi Matematika. Tidak dapat dimungkiri, kesan pertama yang terbentuk adalah beliau amat kharismatik! Pembawaannya tenang, gaya bicaranya pun begitu. Nampak sekali kalau beliau adalah sosok yang cerdas.

Bacaan Lainnya

Pertemuan pertama mata kuliah yang diampu beliau rasa-rasanya selalu sama di tiap angkatan. Beliau selalu menuntaskan hal-hal yang bersifat definitif. Khas sekali. Bahkan saya ingat betul di pertemuan pertama setelah sesi perkenalan, beliau membuat kami satu kelas merasa bingung. Pertanyaan seputar definisi bilangan prima, persamaan, pertaksamaan, bilangan ganjil-genap, variabel, dan beberapa pertanyaan definitif lainnya, serupa hal yang wajib dijawab oleh mahasiswa baru. Bingung-seru-sedap rasanya!

Di hari-hari berikutnya, beliau menampakkan kesan yang lebih. Selain kharismatik dan cerdas, dedikasi beliau dalam bidang pendidikan sangatlah tinggi. Sepengetahuan saya, beliau menghabiskan hari-harinya untuk mendidik para mahasiswa dan juga mengurusi hal-hal administratif yang berkenaan dengan yayasan Universitas Islam. Beberapa kali saya sempat mengetahui bahwa beliau juga didapuk sebagai narasumber di forum-forum kepala sekolah. Kadangkala, beliau juga menyempatkan hadir di beberapa kegiatan pergerakan. What an amazing one!

Jika dibayangkan, menjadi beliau tentu amatlah lelah. Ada banyak sekali kegiatan yang harus beliau hadiri dalam satu hari. Namun gurat lelah yang sesekali tampak di wajahnya, tidak sedikit pun mengurangi semangat beliau dalam mendidik. Memori saya yang cukup baik dalam mengingat kenangan ini, tidak menampilkan satu pun keping kisah di mana beliau izin mengajar sebab lelah. Apalagi sakit.

Berdasarkan ingatan itu, maka saya cukup kaget saat kemarin mendapat kabar bahwa beliau dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Saiful Anwar. Dengan kabar bahwa beliau sedang dalam masa kritis, saya sesekali menyeka sudut mata. Rasanya tak percaya jika dosen kebanggan saya dan teman-teman itu harus terbaring dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sungguh saya tak pernah mendengar kabar beliau sakit cukup serius sebelumnya. Beliau tampak sehat-sehat saja.

Dalam kondisi yang setengah tak percaya, kenangan-kenangan bersama beliau terputar kembali di memori saya. Dulu saat masih berstatus sebagai mahasiswa baru beberapa hari, rasanya bahagia sekali jika nama saya diingat oleh beliau. Kemudian kebahagiaan itu bertambah dengan rasa kagum sebab beliau hafal semua nama mahasiswanya. Berbekal nama-nama yang dihafal, beliau mampu membuat suasana kelas menjadi cair. Sesekali dalam penjelasan matematiknya, beliau menyisipkan cerita soal moderasi beragama, kegigihan dalam berjuang, dan value lainnya.

Ingatan lain tentang beliau yang kemudian muncul adalah saya tidak pernah melihat beliau mengajar dengan wajah marah, ataupun menasihati kami dengan nada tinggi. Tugas-tugas yang kami –mahasiswanya– kerjakan pun selalu diapresiasi dengan baik oleh beliau. Bahkan soal apresiasi ini, beliau tidak ragu memuji dan mengapresiasi dosen junior. Oh ya, saya lupa menjelaskan bahwa beliau ini dosen senior di program studi pendidikan matematika.

Saya terus merapal doa. Bukan sebab diminta oleh dosen-dosen, tapi saya merasa sudah menjadi kewajiban untuk mendoakan murabbi ruh yang amat saya sayangi dan banggakan itu. Di lain sisi, saya tidak tahu harus dengan apa saya membalas semua kebaikan beliau. Selain menghafal nama dan mendidik dengan cinta, ingatan yang melekat soal kenangan pribadi adalah tidak pernah absennya beliau dalam mengucapkan selamat di hari lahir saya. Itu berjalan mulai tahun 2017 hingga 2020 kemarin. Hati saya menghangat setiap membaca doa-doa yang beliau tuliskan di dinding Facebook atau di kolom pesan WhatsApp. Tentu saja saya mengamini dengan bahagia.

Sebelum tidur semalam, saya mendadak merasa hati ini tidak baik-baik saja. Sejak membaca kabar perihal kondisi terakhir beliau, jujur saja, pikiran ini sudah dipenuhi dengan segala kemungkinan terburuk. Namun entahlah, menjelang tidur saya makin overthinking. Meski begitu, saya tetap ngadem-ngadem ati bahwa saya akan tetap bisa sowan ke rumah beliau Syawal nanti. Rasanya sudah tidak sabar ingin ngangsu kaweruh dari beliau.

Kondisi tubuh yang tidak fit membuat tidur saya tidak nyenyak. Beberapa kali saya terbangun dengan perasaan yang masih sama. Resah, gundah, atau entah apa namanya. Sampai pada akhirnya, kemungkinan terburuk itu dengan nyata menghampiri. Subuh di hari Jumat bulan Ramadhan ini menjadi subuh paling nestapa. Saya menerima kabar bahwa beliau telah dipanggil oleh Allah. Dengan segenap perasaan tidak percaya dan aliran air mata, saya membuka satu-satu pesan yang masuk. Semuanya sama. Saya memang harus menerima kenyataan bahwa beliau memang telah berpulang.

Sesenggukan saya membaca kabar-kabar yang lewat di media WhatsApp. Tidak sempat saya hitung berapa banyak ucapan duka yang diperuntukkan pada beliau. Selain doa-doa baik untuk orang baik di hari baik, saya membaca banyak sekali kesan indah dari teman-teman mahasiswa dan beberapa dosen serta karyawan kampus. Beliau dikenal sebagai dosen yang peduli, cerdas, juga mampu nguwongne uwong. Hampir semua mahasiswa menarasikan beliau dengan “dosen kebanggan kami” atau “bapak kesayangan kami.”

Saya rasa itu tidak berlebihan. Beliau memang pantas menyandang predikat tersebut. Tiba-tiba saya ingat sebuah momen di mana saya merasa amat bahagia. Malam itu saya sedikit kaget saat melihat bilah notifikasi. Ada pesan masuk dari beliau di WhatsApp. Saya belum membukanya. Masih mencoba menerka kira-kira apa yang beliau kirim. Mengingat, saya bukan mahasiswa bimbingan beliau. Pun tidak ada mata kuliah yang beliau ampu, sebab saat itu saya hanya mengerjakan tugas akhir. Ketika saya buka, rasa haru juga bahagia menyelimuti diri saya yang fakir ini. Saya yang bukan siapa-siapa ini diajak oleh beliau untuk menghadiri ujian terbuka program doktoral beliau di Universitas Negeri Surabaya. Tanpa banyak pertimbangan, saya jelas mengiyakan ajakan beliau.

Singkat cerita, saya menghadiri ujian terbuka beliau tanpa ditemani oleh teman-teman mahasiswa satu pun. Saya tidak berani mengajak siapa pun. Subuh yang dingin, saya berangkat ke Surabaya dari Terminal Arjosari. Di sana, saya melihat banyak wajah bangga. Rekan beliau sesama dosen, rekan kuliah, saya, dan tentu saja keluarga besarnya. Saya sampai saat ini tidak tahu pasti apa alasan beliau mengajak saya. Namun jika boleh menafsirkan, itu adalah sebentuk semangat dan motivasi dari beliau. Pasalnya, beberapa bulan sebelum itu, beliau yang memang gemar menanyakan kabar skripsi mahasiswanya itu, bertemu saya seusai menguji tugas akhir seorang teman.

“Kapan ujian, Hik?” Tanya beliau pada saya. Sekenanya saya jawab “Kulo ujian nunggu bapak ujian terbuka, hehe.” Dan benar saja, saya memang ujian tugas akhir setelah beliau ujian terbuka. Setelah puas berfoto –yang sampai sekarang masih saya cari-cari fotonya–, beliau berdoa tepat di depan saya. “Semoga segera ujian ya, Nduk. Ndang sekolah lagi, nanti saya bersedia dimintai rekomendasi.” Maknyes, 24 November 2019 kala itu sungguh menjadi salah satu hari yang membahagiakan. Selain peduli pada aspek akademis, beliau juga peduli dengan hal-hal non-akademis saya.

Terhadap mahasiswanya yang sok ngaktivis ini, beliau yang merupakan senior PMII tidak jarang bertanya “Bagaimana kabar IPNU IPPNU?” Beberapa kali kami bertemu di forum-forum Nahdlatul Ulama. Beliau hadir sebagai sekretaris umum dari sebuah yayasan yang berafiliasi dengan NU. Saya yang remah rengginang ini datang sebagai delegasi dari IPPNU. Sesekali beliau juga bertanya seputar kegiatan IPPNU dan selalu ditutup dengan doa “Sukses ya!”

Tertatih saya menutup ‘pintu memori’. Saya tidak ingin semakin lunglai dengan kenangan-kenangan yang muncul. Tapi apa daya, betapapun kita bersiap diri, duka sebab kematian memang selalu menyisakan perih. Ucapan belasungkawa datang silih berganti. Masih dengan rasa tidak percaya, saya mulai membalas pesan-pesan yang masuk. Tidak hanya saya, banyak orang lain yang menuturkan kenangan baiknya bersama beliau. Awalnya saya ingin protes, mengapa beliau harus pergi secepat ini.

Saya baca-baca ulang semua kesaksian baik soal beliau. Lalu saya sadar. Saya dan banyak orang lainnya memang menyayangi beliau. Tapi Allah lebih menyayangi beliau dengan kadar yang tak terkira. Orang baik memang dipanggil Allah di hari yang baik.

Dengan hormat yang penuh seluruh, saya bersaksi bahwa beliau adalah orang baik. Jariyah beliau saat mendidik dengan cinta semoga bisa membuka pintu surga selebar-lebarnya. Tutur kata yang sejuk dan sikap penghargaan terhadap orang lain barangkali akan menjadi lantaran kubur yang lapang. Jika kemarin-kemarin beliau berkata “mathematic is learning by doing,” maka keikhlasan melepas beliau adalah learning by doing yang lain. Selamat jalan, Bapak. Perjuangan panjenengan abadi. Nasihat dan semangat hidup panjenengan mengalir di jiwa-jiwa kami.

Salam ta’dhim dan permohonan Al-fatihah untuk pendidik kebanggaan kami, Dr. H. Mustangin, M. Pd.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *