Oleh : KH. Ma’ruf Khozin
Saya bersyukur kepada Allah karena lahir dan menjalani masa kecil di lingkungan warga NU. Saya semakin bersyukur karena menjadi santri di pesantren NU dan para santrinya juga NU.
Tidak saya kurangi rasa syukur saya karena saya menikah dan tinggal di kota kelahiran NU, Surabaya. Semakin bertambah lagi syukur saya karena saya bisa berkhidmat di kantor NU Bubutan yang memiliki sejarah sebagai kantor pertama Hoofd Bestuur NU, yang setelah pindah ke Jakarta menjadi PBNU.
Sebenarnya, ada gejala keragu-raguan sebagai pengikut Nahdlatul Ulama setelah membaca buku “Mantan Kiai NU” tulisan Ust. Mahrus Ali, isi buku ini menyalahkan semua Amaliah NU yang saya jalankan, mulai tradisi kelahiran, pernikahan hingga kematian. Dan Alhamdulillah keraguan itu hilang setelah saya mempelajari dalil-dalilnya di Aswaja NU Center. Allah pun menempatkan saya di lembaga ini.
Saya juga pernah merenung sudah benarkah haluan Ahlissunah wal Jamaah yang dibawa oleh para Kiai-kiai NU ini. Ternyata, pada tahun 2015 para pemimpin ulama dunia melakukan pertemuan di Chechnya, mulai para Masyayikh Al-Azhar seperti Syekh Ahmad Thayyib dan Maulana Ali Jumah, dari Yaman dihadiri oleh Sayidi Alhabib Umar bin Hafidh, ulama Negeri Syam dan sebagainya. Mereka memutuskan bahwa Ahlissunah wal Jamaah adalah para pengikut Imam Asy’ari dan Maturidi di bidang Aqidah, pengikut Imam Hanafi, Malili, Syafi’i dan Hambali di bidang Fikih, serta pengikut Imam Junaid dan Al-Ghazali di bidang Tasawuf. Nah, berarti Qanun Asasi NU yang ditulis Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 1926 itu telah sesuai dengan keputusan ulama dunia ini.
Ternyata menjadi NU itu tidak salah, bahkan saya merasa sudah tepat. Walhamdullillah Rabbil Alamin.