Oleh: Dr. Muhammad Yunus, M.Pd.
Persoalan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ramai diperbincangkan sejak Mas Menteri mengeluarkan kebijakan jumlah minimal siswa sebanyak 60 siswa di satuan pendidikan untuk mendapatkan BOS. Paling keras menyuarakan adalah dari pihak Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (LP Maarif NU). Perjuangan LP Maarif NU menuai hasil positif. Akhirnya kebijakan itu dianulir sendiri oleh Mas Menteri dengan pernyataan semua sekolah akan mendapatkan BOS dan persyaratan itu tidak berlaku di 2022. Meskipun pemberitaan yang muncul dari Keputusan tersebut diambil Kemendikbud Ristek setelah melakukan kajian dan evaluasi dampak pandemi Covid-19, tetapi sejatinya ada protes besar yang disampaikan masyarakat kepada Komisi X DPR RI. Inilah hebatnya DPR RI merespons masyarakat dan gerak cepatnya Mas Menteri menyikapi persoalan yang ada. Namun demikian masalah ini tentu harus dikawal terus jangan sampai 2022 kemudian muncul isu serupa dan menggilas sekolah-sekolah yang ada.
Meskipun ada suara yang mendukung kebijakan Mendikbudrister tersebut tetapi dampak lebih jelek yang akan terjadi justru lebih besar jika kebijakan 60 siswa minimal betul-betul diterapkan. Misalnya saja Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia (JSDI), Muhammad Ramli Rahim yang diberitakan oleh harian Republika (9/9) kemarin, menyatakan dengan enaknya bahwa sekolah dengan siswa di bawah 60 hampir pasti akan kesulitan membiayai dirinya sendiri termasuk membiayai operasionalnya dengan dana BOS. Satu sisi Ramli Rahim menyampaikan bahwa Masyarakat atau kelompok masyarakat sejatinya tampil terdepan menyelengarakan pendidikan bagi anak bangsa karena ketidakmampuan pemerintah melunasi janji kemerdekaan mencerdaskan kehidupan bangsa terutama dalam penyediaan sekolah. Satu sisi mendukung satu sisi mengkritisi pemerintah tetapi tidak melihat bagaimana perjuangan sekelompok masyarakat sejauh ini memperjuangkan pendidikan yang meskipun jumlah siswanya tidak begitu banyak. Tapi juga perlu dikaji sedikitnya siswa bisa jadi karena memang minimnya minat siswa ke sekolah tersebut atau batasan yang diterapkan sekolah kepada sekolah tersebut.
Menurut hemat saya, BOS adalah wujud dari kehadiran pemerintah dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik. Pemerintah hadir disitu dengan mengalokasikan APBN untuk membiayai operasional sekolah sesuai dengan aturan yang ada. Bantuan ini diberikan kepada baik sekolah negeri maupun swasta. Pemerintah telah membuktikan untuk tidak membeda-bedakan apakah sekolah ini dikelola oleh pemerintah ataupun masyarakat. Ketika batasan itu muncul bisa jadi yang kena dampaknya adalah sekolah negeri atau sekolah swasta itu sendiri. Sehingga protes memperjuangkan untuk menoleh kebijakan tersebut patut untuk diapresiasi.
Hal ini jelas karena sekolah untuk menerima dana BOS tidak mensyaratkan jumlah minimal siswa tetapi didasarkan pada keabsahan keberadaan sekolah tersebut. Jika kemudian muncul kebijakan baru dengan alasan sekolah dengan jumlah dibawah 60 dianggap kurang terjamin misalnya, atau akan di merger maka ini akan menjadi persoalan tersendiri. Oleh karenanya protes yang dilakukan oleh LP Maarif NU patut untuk kita apresiasi. LP Maarif tidak hanya memperjuangkan lembaga dinaungannya yang mungkin ada dengan kondisi seperti itu, tapi dasar filosofis yang mendasari kebijakan itu dipandang tidak tepat. Jika pemerintah serius menjamin kualitas mutu pendidikan bukan hanya dilihat dari jumlah minimal siswa tapi lihatlah dengan prosedur aturan yang berlaku. Bukankah banyak bukan berarti lebih baik dan sedikit bukan berarti jelek. Relatifitas inilah yang harus kita tanamkan. Sejauh sekolah mampu mempertanggungjawabkan penggunaan dana BOS dan sekolah masih sungguh-sungguh dalam turut andil mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan, kenapa harus dibatasi dari jumlah siswa?
Muhammad Yunus (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Pascasarjana Universitas Islam Malang. Kepala BAKAK Unisma dan Anggota Pengurus Wilayah LP Ma’arif Nahdlatul Ulama Jawa Timur)
Editor: Febi Akbar Rizki