Oleh: Abdul Malik Karim Amrullah
Berita menggegerkan tentang Herry Wirawan pengasuh pesantren yang memperkosa 21 santri sampai ada yang melahirkan anak dan baru ketahuan setelah sekian lama ditutupi. Kasus ini akhirnya menemukan beberapa fakta baru salah satunya adalah fakta ternyata tempat dilakukan aksi bejat tersebut bukanlah pesantren, akan tetapi Islamic boarding school dan ternyata di dalamnya adalah semacam tempat panti asuhan yang di dalamnya dihuni anak-anak yatim piatu, fakta juga ternyata Herry Wirawan tidak pernah mondok di manapun dan ternyata plakat Namanya bukanlah pesantren, melainkan Madani Boarding School.
Fakta-fakta akhirnya menimbulkan reaksi keras dari pengasuh pesantren yang merasa dirugikan dengan penamaan pesantren yang selama ini dikenal sebagai tempat Pendidikan akhlaq, dan Islamic boarding school bukanlah pesantren. Terlepas dari reaksi tersebut, maka reaksi penamaan ini menjadi kajian menarik seputar pesantren dan Islamic boarding school. Kita bisa melihat istilah Islamic boarding school yang akhir-akhir ini identic dengan pesantren, dan diduga kuat yang memberi lebel nama pesantren sebagai Islamic boarding school datang dari Indonesia sendiri karena kebanyakan para peneliti pesantren kebanyakan mereka tidak menerjemahkan pesantren menjadi Islamic Boarding School seperti Martin van Bruinesen, Manfred Ziemek, bahkan sampai peneliti kita sendiri seperti Zamakhsyari Dhofier dalam buku hasil riset mereka tetap menamakan pesantren.
Istilah pesantren memang mengalami semacam transformasi, di masa awal-awal pesantren memberikan nama dengan nama-nama khas jawa seperti pesantren Sido Giri, pesantren Lirboyo, pesantren Ploso, pesantren Gontor, pesantren Ganjar, Pesantren Gading, Pesantren Bungkuk yang disematkan pada nama daerahnya masing-masing, kemudian nama-nama pesantren di era 70 an mulai berdiri dengan nama berbahasa Arab meskipun masih ada nama khas nusantara, penamaan itu bisa jadi beberapa factor misalnya jaringan Lembaga Pendidikan yang ada di timur tengah tempat para kyai belajar kemudian mereka memberikan nama yang sama untuk “tabarukan” (mengambil berkah; istilah khas pesantren), atau bisa jadi karena faktor syiar Islam melalui Bahasa Arab yang memang menempati posisi yang mulya karena menjadi Bahasa al-Qur’an dan lain sebagainya.
Di era 90-an kemudian transformasi istilah pesantren mulai kea rah istilah berbahasa Inggris yang paling laris manis adalah istilah Islamic Boarding School. Penamaan tersebut bisa jadi dikarenakan beberapa alasan bahwa kesulitan menjelaskan istilah pesantren yang memang sangat khas dan bisa menjadi belum ada padanannya terutama di barat, sehingga Sebagian para pelaku yang ada di pesantren mencoba berijtihad dengan menyebut Islamic Boarding School agar bisa menjelaskan kepada orang di luar pesantren baik para peneliti, maupun masyarakat awam lainnya.
Istilah Islamic boarding school ini memang masih menjadi polemik apakah memang terjemahan resmi pesantren dalam Bahasa Inggris ataukah bukan, mengingat generalisasi Islam tentunya akan tidak cocok, karena di negara Islam selain Indonesia tidak dijumpai Lembaga yang mirip pesantren misalnya di Arab Saudi tidak dijumpai istilah pesantren, bahkan istilah pondok sendiri mengacu pada hotel tempat menginap. Kemudian istilah school sendiri yang memang sudah kadung diterjemahkan dengan istilah sekolah yang tentunya memiliki tradisi berbeda dengan pesantren, meskipun jika dilihat dari sejarah munculnya istilah school bisa jadi dari tradisi skolastik sekitar abad 12 dimana Skolastik adalah arus pengajaran yang merupakan hasil yang muncul dari penyatuan pemikiran teologis dan pemikiran filosofis yang berusaha untuk memahami dan mampu memberikan penjelasan tentang wahyu gaib yang dimiliki agama Kristen.
Walhasil pesantren masih menjadi Lembaga Pendidikan Islam Nusantara yang masih akan terus menghadapi dinamika sosial yang terus mengalami perubahan sesuai dengan konteksnya masing-masing, Ketika berhadapan dengan konteks manajemen, maka pesantren akan dituntut mengadopsi istilah-istilah manajemen, Ketika berhadapan dengan Pendidikan, maka pesantren mau tidak mau harus mengadopsi istilah-istilah tersebut, meskipun jangan sampai orisinilitas pesantren tergerus dengan dinamika yang dihadapinya.
Abdul Malik Karim Amrullah | Dosen Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang