SURABAYA— Salah satu konten media digital yang paling banyak adalah tulisan atau artikel. Artikel dapat memuat banyak penjelasan dan deskripsi yang biasanya tidak dapat ditampilkan oleh desain gambar atau video. Selain itu, aktivitas menulis faktanya adalah dasar pertama dalam menyusun sebuah desain infografis atau juga video dalam bentuk briefing.
Urgensi tersebut yang menjadi landasan pelaksanaan Pelatihan Jurnalistik yang dilaksanakan di Pesantren Miftachussunnah, Surabaya asuhan Kyai Miftachul Akhyar, Ahad (27/2/2022). Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian Program Community Capacity Development yang dilaksanakan oleh Komunitas Averroes dan HM Sampoerna sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia.
Narasumber pelatihan, Irham Thoriq, CEO Tugu Malang, menjelaskan mengenai dasar-dasar seorang penulis, atau wartawan. “Penting kiranya seseorang santri mampu untuk menulis semua aktivitas selama di pesantren. Sebuah karya sederhana dengan tujuan bermanfaat kepada bagi adik-adik generasi berikutnya,” katanya.
Thoriq menambahkan bahwa dalam menulis berita perlu memperhatikan dua hal yaitu berita tersebut penting dan menarik untuk di baca bagi orang lain.
“Selain itu dalam proses menulis memperhatikan beberapa hal, yakni fakta-fakta dalam sebuah tulisan berita. Artinya dalam proses menulis bisa salah tapi tidak boleh berbohong atas sebuah kejadian. Prinsip dasar ini perlu menjadi dipahami oleh para santri, jika kedepan menjadi seorang wartawan berita,” terang pria yang juga alumni salah satu kampus negeri di Malang tersebut.
Proses diskusi nampak terjadi dengan baik. Bagus Nuril, salah satu peserta menanyakan mengenai etika jurnalistik itu apa saja yang perlu diperhatikan dan menjadi pedoman penulis. “Selama ini masih saja terdapat media online mainstream yang terus menerus memberitakan dan memprovokasi dengan hal-hal yang masih belum bisa dipertanggungjawabkan,” ungkapnya.
Respon langsung diberikan oleh Thoriq bahwa etika jurnalistik yang menjadi pegangan adalah kebenaran atas berita yang terjadi tersebut.
“Dengan tidak menambahi-nambahi dengan cerita lainnya yang dapat menyebabkan hoax. Kuncinya itu. Biasanya, media yang begitu malah akan menghancurkan medianya sendiri,” papar Thoriq.
Selain mendapatkan materi, peserta yang hadir diajak untuk praktik menulis berita atau artikel seputar aktivitas yang ada di pesantren. Para peserta langsung mencoba menulis bak wartawan dengan melakukan wawancara kepada peserta lainnya secara bergantian. Setelahnya, artikel direview oleh narasumber untuk diberikan catatan dan perbaikan selanjutnya.