Oleh: Halimi Zuhdy
Bersama Nabi Khidir, Nabi Musa selalu dibuat terkejut, heran, dan ribuan pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya.
“Kok Bisa ya”?, di antara pertanyaan yang muncul. Ketika Nabi Khidir dan Nabi Musa dalam kondisi sangat lapar tidak ada orang yang menjamu dan memberi upah, tapi Nabi Khidir masih saja mau menegakkan, membangun dan memperbaiki salah satu rumah warga itu. Nabi Musa heran, “Mintalah upah dari mereka atas usahamu.” Tapi, Nabi Khidir bukannya menjawab, malah memutuskan untuk berpisah dengan Nabi Musa, “Ini adalah saat berpisah antara Aku dan Engkau, karena Engkau tidak sabar. “
Sebelum detik-detik perpisahan itu Nabi Khidir menceritakan maksud dan tujuan dari apa yang telah diperbuatnya, mengapa dia memperbaiki dinding itu, “Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.” (Kahfi, 82)
Desa itu sangat terkenal Kikirnya, bakhilnya, bahkan suka menyimpan harta. Penduduknya tidak berinfak, tidak membantu sesama, kecuali punya kepentingan saja. Dinding yang diperbaiki Nabi Khidir adalah sebagai cambuk dan hukuman bagi penduduk kikir, agar mereka tidak menemukan emas-emas yang berada di bawah rumah anak yatim itu, serta untuk menyelamatkan harta dari keserakahan mereka. Seandainya mereka tahu apa yang ada didalaminya, mereka akan membongkarnya dan mengambil pundi-pundi emasnya.
Dan di atas emas itu tertulis jelas bagi orang-orang pemburu harta, pecinta dunia, suka bersenang-senang, sebagaimana kata Ibnu Abbas dalam beberapa Tafsir Al Qur’an, “Dalam emas itu tertulis
Bismillahirrahmanirrahi
Aku heran, orang yang percaya takdir, tapi masih bersedih.
Aku heran, orang yang percaya rizki, tapi masih memburu dan tamak.
Aku heran, orang yang percaya kematian, tapi masih bersenang-senang.
Aku heran, orang yang percaya hari penghitungan (hisab) tapi masih sering lalai.
Aku heran, orang yang percaya akan dunia, dan penduduknya akan silih berganti, tapi mengapa mereka masih merasa tenang (dengan dosa).
Lailaha illallah Muhammad Rasulullah
Maka, betapa pesan itu melebihi dari emas segunung bagi mereka yang sadar bahwa penduduk dunia ini akan silih berganti. Mereka yang dulu segar bugar, sekarang keriput dan bungkuk, mereka yang dulu pernah jaya, sudah tinggal papan nama di atas kuburan “Fulan bin Fulan, L 1010 M, W 1085 M”. Kini, kita menunggu untuk dicatat dalam papan itu, entah kapan?, dan apakah papan kita tertulis kebaikan atau keburukan, Allah A’lam bishawab.
**
Dalam Perjalanan