Pesan Si Mbah Kung (K.H. Abdul Muchith Muzadi)

Masih terngiang saat kami sekeluarga matur nyuwun pangestu akan memondokkan putra barep (sulung) kepada Si Mbah Kung (K.H. Abdul Muchith Muzadi).   Pesannya singkat kepada saya dan istri, bahkan tidak berpesan langsung kepada cucu ke-14 nya yang akan mondok.

“Nek durung setahun, anakmu ojo mbok takoni krasan opo ora.” (jika belum sampai satu tahun, anakmu jangan ditanya betah atau tidak)

Bacaan Lainnya

Pesan ini selalu saya ingat, bahkan untuk ngerasani tanya kepada istri apakah si barep sudah krasan atau belum, selalu saya tahan dan tunda sampai waktunya tiba. 

Saat mendapatkan pesan itu, Hal yang muncul dalam pikiran adalah pertanyaan, kenapa pesan singkat itu malah buat saya Orangtua calon santri baru. Kenapa tidak ada pesan kepada calon santri baru?  Apa ini artinya porsi Orangtua lebih banyak butuh nasehat daripada anaknya?  Namun, dengan segera saya tepis sendiri, Mungkin pesan singkat itu bukan saja buat saya Orangtua, tetapi juga buat si barep yang ikut mendengarkan. 

Sekarang kami sadar betul bahwa krasan atau tidak santri baru bukan melulu soal penyesuaian diri. Santri baru terhadap peraturan pondok, aturan asrama, padatnya jadwal kegiatan, atau beban fisik-psikologis santri baru, tetapi juga menjadi urusan keikhlasan, kepasrahan, dan kepercayaan Orangtua kepada Pondok. 

Menyerahkan tugas kewajiban Orangtua dalam mendidik dan mengasuh anak kepada pengasuh dan pengurus pondok. Ya, tugas mengasuh juga diserahkan.  Karena itu, pondok pesantren selalu mengagunkan istilah pengasuh bukan direktur. 

Menjadi krasan adalah sebuah ikhtiar bersama untuk mampu mengatasi segala situasi dan persoalan apapun yg dihadapi Santri Baru sekaligus Orangtua nya. Tanpa dilandasi kepercayaan dan keikhlasan, hal ini akan sangat sulit dijalani ke duanya, kira-kira seperti itulah isi pesan singkat itu. 

Tibalah setahun kemudian, liburan Syawal 1436 H, si barep ditimbali Si Mbah Kung yang saat itu sudah menginjak usia 90 tahun. Si Mbah Kung banyak bercerita tentang bagaimana menuntut ilmu dan lika-liku hidup di pondok pada jaman beliau dulu.  Si Barep lebih banyak mendengarkan, saat itulah kami mendapati satu “perubahan sikap” tawadu si barep kepada Si Mbah Kung. 

Perkembangannya pesat, hingga tadi saya sebut dengan “perubahan”.  Jauh lebih hormat, santun dan halus dalam tutur kata kepada Si Mbah Kung.  Menyesal sekali waktu itu saya hanya mengantar si barep, tidak mendampinginya sampai akhir cerita. 

Mungkin kesempatan itu satu-satunya kesempatan si barep berdua dengan Si Mbah Kung sejak dia mondok.  Kurang lebih sebulan berselang, setelah si barep kembali ke pondok, kami semua harus ikhlas ditinggal Si Mbah Kung menghadap Sang Kholiq.  Ahad, 6 September 2015, pagi itu saya hanya menitipkan kabar duka ini kepada kepala pondok dan Pengasuh, selebihnya kami pasrahkan sepenuhnya kepada pihak Ar-Risalah  .

Tak tahan rasanya, untuk tidak menulisnya.  Kesam sangat mendalam saat kepergian beliau, tanpa si barep beserta kami.  Di saat hati berkabung itu pun harus mengambil sikap kepasrahan seperti itu.  Melawan besarnya arus tekanan kanan-kiri depan-belakang atas-bawah untuk menjemput si barep membawanya menuju penghormatan terakhir Si Mbah Kung ke Jember. 

Alhamdulillah, si barep sudah lebih dewasa, ikhlas menjalaninya. Dan dengan takdir Allah, itu semua tergantikan dengan “pamitan khusus” Si Mbah Kung untuk si barep ke Pondok. 

Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu

Allahummaj’al quburohu roudhotan min riyadhil jinan. Wala taj’al quburohu hufrotan min hufrotin niron. 

Aamiinn. 

Al Fakir Mumtaz Dani (Bapak e si Barep | Putra Ragil Si Mbah Kung)

Editor: Febi Akbar Rizki

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *