Nabi Muhammad Saw berkata: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan” (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335)
Momen sumpah pemuda, tak hanya menukil bagaimana peran pemuda 28 Oktober 1928 dalam mempersatukan seluruh elemen pemuda untuk melawan penjajah. Namun, kita juga perlu membaca ulang sejarah Sultan al Fatih yang menaklukan Konstantinopel di saat dia berumur 21 tahun sebagai refleksi perjuangan islam.
Sultan al Fatih atau Sultan Muhammad II dilahirkan pada 29 Maret 1432 Masehi di Adrianapolis (perbatasan Turki – Bulgaria). Dia naik takhta ketika berusia 19 tahun dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481). Ia merupakan seorang negarawan ulung dan panglima tentara agung yang memimpin sendiri 25 peperangan.
Ia merupakan salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Sultan al-fatih merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya, karena dia lah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.
Di dalam bidang akademik pula, dia adalah seorang cendekiawan ulung di zamannya yang fasih bertutur dalam 7 bahasa yaitu Bahasa Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Persia dan Ibrani. Dia tidak pernah meninggalkan Shalat fardhu, Shalat Sunat Rawatib dan Shalat Tahajud sejak baligh. Dia wafat pada 3 Mei 1481 karena sakit gout sewaktu dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma, Italia.
Beliau seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu’ setelah Sultan Salahuddin al Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud al Qutuz (pahlawan Islam dari Dinasti Mamluk dalam peperangan di ‘Ain al Jalut melawan tentara Mongol).
Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, dia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa. Termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Dengan kekuatan tak kurang 200 ribu pasukan, pasukan kekalifahan Utsmani di bawah komando Sultan Mehmed II, panggilan Muhammad Al-Fatih, menaklukkan jantung peradaban Kristen terbesar saat itu.
Mirip Tembok Besar di China, kota Konstantinopel dinaungi benteng yang terbentang sejauh total 20 kilometer guna menghindari serangan musuh. Serangan pasukan Al-Fatih sudah dimulai sejak 6 April atau lebih dari sebulan sebelumnya namun tanpa hasil yang memuaskan.
Cara menaklukan Konstantinopel
Memang tak mudah menundukkan Konstantinopel. Sebab upaya penaklukan tersebut bahkan sudah dilakukan sejak tahun tahun 34 H / 654 M pada masa pemerintahan Usman bin Affan r.a.
Beliau mengirimkan Muawiyah bin Abi Sofyan ra. dengan pasukan yang besar untuk mengepung dan menaklukkannya. Namun mereka pulang dengan tangan hampa disebabkan oleh kokohnya pertahanan Konstantinopel.
Ayah Sultan al Fatih, Sultan Murad II dan pendahulu-pendahulunya juga melakukan usaha untuk menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal. Banyak serangan yang dilancarkan para Khalifahan Islam dalam rangka penaklukan konstantinopel dalam rentang waktu 800 tahun lamanya. Namun semuanya mengalami kegagalan hingga penyerangan terakhir yang dilakukan oleh Sultan Muhammad al Fatih.
Di tangan Sultan Muhammad al Fatih yang melanjutkan penaklukkan Konstantinopel baik dari ayahnya maupun pendahulunya, tak disangka malah sukses dalam usia yang relatif muda.
Dalam rangka penaklukan tersebut al Fatih berusaha untuk memperkuat kekuatan militer Utsmaniyah, selain dari segi kuantitas hingga mencapai 250.000 personil, juga segi kuantitas dengan skil bertempur dan strategi jitu dan juga menanamkan semangat Jihad.
Takluknya Konstantinopel menjadi pintu gerbang bagi kekalifahan Utsmani untuk melebarkan sayap kekuasaanya ke Mediterania Timur hingga ke semenanjung Balkan.
Peristiwa ini kelak juga menjadi titik krusial bagi stabilitas politik Utsmani sebagai kekuatan adikuasa saat itu. Dan pada tanggal 29 Mei 1453 ini juga ditandai sebagai era berakhirnya Abad Pertengahan.
Nama Konstantinopel kemudian diubah menjadi Istanbul yang berarti kota Islam dan dijadikan sebagai ibu kota kekalifahan Utsmani hingga kejatuhannya pada 1923.
Secara geografis, wilayah Istanbul dibagi menjadi dua, masing-masing terletak di Asia dan Eropa. Berpenduduk hingga 16 juta jiwa, Istanbul adalah salah satu kota terpadat di Eropa. Kota pelabuhan laut ini sekarang menjadi pusat perdagangan utama Turki modern.
Satu nilai yang dapat diambil dari kisah penaklukan Kota Konstantinopel ini adalah etika berperang yang sangat dijunjung tinggi. Perang bukan berarti membabi buta tanpa aturan. Namun memiliki etika dan moral yang harus dipatuhi, seperti tidak membunuh wanita, anak-anak dan lain-lain.
Bahkan dalam kisah di atas usai perang, Sultan al Fatih mengajarkan nilai-nilai toleransi dalam Islam, yaitu membiarkan semua geraja tetap menjadi geraja, kecuali Aya Sophia yang diminta, menggunakan bahasa meminta, bukan paksaan, menjadikannya masjid, karena Umat Islam di sana belum punya masjid untuk beribadah, termasuk untuk melakukan shalat Jumat pada hari panaklukan itu.
Penduduk Konstatinopel juga diberi kebebasan untuk memeluk agama masing-masing. Dibuka pintu lebar jika ingin masuk Islam, dan diberi kebebesan untuk beribadah jika masih bertahan dengan agamanya. Seiring berjalannya waktu, banyak di antara penduduk yang memeluk Islam, masjid-masjid dibangun, dan adzan terdengar dimana-mana.