Oleh: Prof. Dr. H.M Zainuddun, MA
Tanggal 31 Januari 2022 NU genap berusia 96 tahun, hampir satu abad. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menempatkan ormas NU berada pada posisi teratas dengan basis massa yang berjumlah kurang lebih 108 juta orang. Bahkan saat ini NU bukan hanya sebagai pemilik ormas terbesar dalam skala nasional saja, namun juga ormas terbesar di dunia dengan cabangnya di berbagai negara. Jika saat ini total seluruh penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 250 juta penduduk dengan jumlah pemeluk muslim berkisar 87%, maka 49,5 persennya adalah warga NU.
Lantas apa kontribusi NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era global ini? Sustainable Development Goals (SDGs) merumuskan empat isu besar yakni kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Sementara itu Indonesia memiliki Bonus Demografi, yaitu sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Kelak pada 2045, mereka yang usia 0-10 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54. Pada usia-usia ini mereka akan memegang peran penting di kancah Indonesia. Mereka diharapkan akan menjadi generasi yang cerdas, produktif, inovatif, dan berperadaban unggul. Mereka akan menjadi generasi emas yang sekaligus juga menjadi pemimpin bangsa.
Menyadari akan hal di atas, maka para elit NU mesti mempersiapkan dan merancang program 5 tahunan ke depan (road map). Paling tidak ada empat program besar yang perlu dirumuskan, yaitu pertama, bagaimana NU dengan bonus demografi Indoensia mampu mempersiapkan generasi emas pada dasawarsa ke depan; kedua, bagaimana NU merumuskan Islam dalam wawasan kebangsaan dan kenegaraan di era global; ketiga, bagaimana NU berperan dalam memperkokoh NKRI dan memposisikan peran politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; keempat, bagaimana NU memposisikan perannya dalam konteks pembangunan ekonomi keumatan.
Nahkoda Baru
Duet Gus Yahya dan Kiai Miftahul Akhyar menjadi ekspektasi jamaah NU dan bahkan Indonesia pada umumnya sebagai figur pemimpin ideal yang mampu membawa NU dengan empat agenda besar di atas. Apalagi jargon yang diusung Gus Yahya dalam muktamar tempo hari adalah: “Menghidupan Gus Dur”. Figur pemimpin ideal memiliki jiwa demokratis, yaitu seorang pemimpin yang memberikan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum, yang menurut Gus Dur hal di atas perlu diperjuangkan terus-menerus. Dalam konteks jam’iyyah NU, maka pemimpin demokratis harus memiliki sikap melayani terhadap jamaahnya, memberikan kebebasan untuk perpendapat dan bersedia bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara.
Tentu Gus Yahya yang bertekad menjadi reborn Gus Dur harus memiliki wawasan yang humanis dan etis seperti yang direpresentasikan oleh Gus Dur. Apalagi kepemimpinan di NU masih menganut pola kepemimpinan patriarchal, artinya seorang elit figur masih menjadi penentu organisasi –meski seringkali juga terjadi dinamika. Pola hubungan elit NU dan jama’ah di tingkat bawah masih kental dengan nuansa kepatuhan dan ta’dzim-nya. Maka dalam konteks ini, Gus Dur berpesan untuk menjadikan politik sebagai moralitas. Dan menurutnya, bahwa Islam menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi.
Tantangan Era Global
Saat ini warga NU yang dibentuk dari pendidikan modern sudah semakin bertambah. Banyak para santri –setelah menamatkan pendidikannya di pesantren– yang melanjutkan ke program Doktor baik di Barat maupun Timur Tengah. Inilah aset yang mesti dimanfaatkan secara optimal. Fenomena munculnya generasi baru intelektual NU sekarang sudah terlihat di kelas-kelas menengah kota dan beberapa perguruan tinggi. Lahirnya para generasi pemikir muda yang bergabung dalam forum-forum kajian di berbagai wilayah kota besar khususnya di Jawa, telah menandai era kebangkitan baru intelektual muda NU. Mereka harus diakomodasi dan dilibatkan dalam merancang dan sekaligus menyelesaikan masalah keumatan. NU harus menjadi organisasi Islam Indonesia yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan Indonesia. Sebab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri. Kontribusi NU tentu menjadi harapan semua warga bangsa untuk menentukan nasib Indonesia ke depan.
Era global menuntut masyarakat memiliki wawasan yang lebih luas dan bidang garap yang lebih bersifat mondial. Era global menuntut relasi sosial berbasis pada pertimbangan kemanusiaan, bukan golongan dan sektarian, ini artinya bahwa ideologi dan agama dituntut mampu mengedepankan dan merumuskan konsep kemanusiaan dan sosialnya secara komprehensif dan universal melintas batas etnisitas, sekte, ideologi dan agama itu sendiri. Dalam era global, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok interest-group seperti petani, buruh, nelayan dan sebagainya. Nah, bagaimanakah NU menghadapi persoalan ini?
Dalam era global dan multi kultral ini, NU sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan pembaruannya. Sebab, bagaimanapun kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan. Kepekaan terhadap problem-problem sosial seperti HAM, demokratisasi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kemiskinan dan segudang isu-isu sosial lainnya merupakan lahan garap yang mendesak yang mesti dilakukan dan diprioritaskan oleh organisasi sosial Islam seperti NU ini. Oleh sebab itu, di pundak kepemimpinan Gus Yahya-Kiai Miftahlah jamaah dan masyarakat Indonesia begantung.*
Prof. Dr. H.M Zainuddun, MA | Rektor UIN Maliki Malang