Oleh: Abdul Malik Karim Amrullah
Saya pernah ditanya oleh seorang arsitektur, pertanyaannya sangat sederhana sekali, akan tetapi untuk menjawabnya butuh perenungan yang sangat mendalam yaitu “apa bedanya pesantren dengan rumah penginapan”?, saya masih belum mengerti pertanyaan yang dimaksud “maksudnya apa?”. Dia menjawab “Maksudnya dari konstruksi dan struktur bangunan apa ada bedanya antara pesantren dengan penginapan”?. Saya kemudian merenung sejenak dan memikirkan jawabannya, karena memang sebenarnya gak ada bedanya secara substansi seperti rumah penginapan secara umum, kemudian saya berfikir dari sisi fungsinya yaitu pesantren difungsikan untuk belajar, sedangkan penginapan untuk menginap. Jawaban tersebut masih lemah, karena rumah penginapan pun bisa digunakan belajar juga.
Perenungan saya akhirnya sampai pada nilai dasar yang selama ini dipertahankan kyai di pesantren, yaitu kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian. Jadi ada keterkaitan antara nilai-nilai tersebut terhadap struktur bangunan pesantren. Kyai menanamkan nilai kesederhanaan kepada santrinya, dia wujudkan dalam semua perilaku kesehariannya misalkan hidup sewajarnya sampai dia wujudkan dalam bentuk pesantrennya yaitu bangunan yang simpel (sederhana) yang terdiri dari rumah induk kyai yang terpisah atau biasa disebut ndalem, kemudian rumah belajar santri atau biasa disebut pondoan, kemudian masjid sebagai pilar utama pesantren karena sebelum mendirikan pesantren kyai biasanya membangun masjid dahulu.
Ndalem adalah rumah utama kyai yang dibangun secara terpisah dengan pondoan yang difungsikan untuk menerima tamu atau biasanya wali santri yang sowan untuk bertemu tabarukan (memperoleh keberkahan/kebaikan) sebelum bertemu putra-putrinya yang mondok. Ndalem berfungsi sebagai ruang informasi masyarakat atau orang tua tentang keadaan pesantren, selain itu juga berfungsi sebagai “semacam unit” untuk melayani masyarakat — karena kyai memproklamirkan sebagai pelayan umat (khodimul ummat) — untuk memberikan konseling religius untuk menyelesaikan problem-problem masyarakat seperti mengatasi mbetik nya anak (istilah mbetik seperti istilah kenakalan anak akan tetapi dengan konotasi yang masih positif, karena istilah kenakalan biasanya berkonotasi negatif), problem kesehatan, problem ekonomi seperti kelancaran rejeki dan lain sebagainya. Jadi bangunan ndalem merupakan bangunan yang multifungsi walaupun hanya berupa bangunan rumah biasa dan sederhana akan tetapi memiliki fungsi yang banyak.
Kebersamaan juga merupakan nilai yang dikembangkan di pesantren yang berimbas pada bentuk bangunan pondoan (tempat belajar dan menginap) santri. Ruang tidur dan belajar yang ada di pondoan diatur sedemikian rupa sehingga ruangan tersebut bisa digunakan secara bersama-sama untuk tidur bahkan digunakan untuk belajar. Ruang tidur biasanya berisi kumpulan santri tidak ada ruang pribadi khusus untuk santri tertentu, bahkan untuk kamar mandi biasanya juga dibangun dengan ukuran yang cukup besar, mengingat jumlah santri sangat banyak untuk mengurangi antrian panjang yang bisa jadi menyita waktu cukup banyak sehingga santri tidak bisa mengikuti pelajaran tepat waktu dan lain sebagainya.
Ruang aula bisa dipastikan ada di pesantren, yang digunakan untuk kuliah umum (pengajian umum) kyai kepada seluruh santrinya bahkan untuk masyarakat. Struktur bangunan yang mengedepankan kebersamaan itulah biasanya problem-problem individu santri bisa terselesaikan dengan bantuan teman-temanya. Bahsul masail yang dilakukan santri secara bersama-sama merupakan salah satu model pembelajaran yang mengkaji al-Qur’an, hadis atau kajian kitab kuning yang biasanya dilakukan di kelas-kelas bahkan di kamar-kamar santri itu. Ruang-ruang publik seperti penitipan sandal biasanya tidak diberikan ruang khusus, akan tetapi dibiarkan di ruang umum sehingga biasanya santri sudah memahami bahwa sandal itu adalah milik bersama, kecuali jika ada tamu yang masuk biasanya sandalnya di bungkus kresek dan ditempatkan pada tempat khusus para tamu.
Jika dicermati lebih spesifik lagi, maka biasanya ada bilik khusus untuk santri semacam corner (zawiyah) yang difungsikan untuk santri yang ingin melatih kemandiriannya dalam memperdalam ilmu agama bahkan ilmu mengenal jiwa agar santri menjadi pribadi yang lebih berkualitas dalam menghadapi kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan. Pesantren yang menyediakan bilik seperti ini biasanya pesantren tarekat dan biasanya kyainya adalah seorang mursyid.
Terlepas dari berbagai macam kelemahan yang ada, yang pasti pesantren telah menjadi lembaga pendidikan yang sangat unik dan berani memiliki kemandirian sendiri dalam mengelola lembaganya dan produk yang dihasilkan memiliki ketahanan dan karakter sesuai dengan visi kyai mendirikan pesantren. Dalam gerusan dan perubahan jaman begitu rupa pesantren masih menjadi lembaga alternatif utama masyarakat yang tidak ingin hanya memiliki anak yang pintar saja akan tetapi harus memiliki karakter yang kuat dalam menghadapi kehidupan dan pesantren masih mempertahankan sistemnya itu.
(Abdul Malik Karim Amrullah, Dosen FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang/Ketua Lakpesdam PCNU Kab Malang)
Wallahu a’lam bi al-Sawab