Oleh: M Kholid Syeirazi
Kita semua bahagia tidak terkira. Akhirnya ada titik temu. Hingga Senin malam, 7 Desember 2021, saya ngeri membayangkan kemungkinan terburuk: perahu Muktamar terbelah dua. Saya rapal doa dalam hati: semoga ada keajaiban. Ini bermula dari rencana PPKM Nataru. Dari 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022, Pemerintah berencana membatasi pergerakan orang: tidak ada liburan, tidak perayaan, tidak ada perhelatan akbar. Ini berdampak pada jadwal Muktamar.
Pengurus terbelah dua arus: maju atau mundur. Pj. Rais Aam memerintahkan maju. Alasannya, tidak ada jaminan jika pun mundur, Muktamar bakal terlaksana. Tidak ada yang tahu, kapan pandemi ini sirna. Alasan lainnya, kriris legitimasi. Kepengurusan PBNU mestinya berakhir Agustus 2020. Tanpa kepastian jadwal Muktamar, legitimasi pengurus bermasalah.
Arus mundur punya dua jawaban: teknis dan normatif. Secara teknis, lokasi belum siap. Sarpras pesantren, venue utama Muktamar, sedang pengerjaan. Pengunduran waktu dapat memperbaiki teknis penyelenggaraan. Tanggalnya pun cantik: 31 Januari, pas harlah NU kalender masehi. Secara normatif, krisis legitimasi tidak akan terjadi. Ini karena ada keputusan Munas dan Konbes, yang statusnya setingkat di bawah Muktamar. Munas dan Konbes Jakarta, 25-26 September 2021, memutuskan Muktamar akan diselenggarakan di Lampung pada 23-25 Desember 2021, dengan persetujuan Satgas Covid-19. Jika diktum pertama tidak tercapai, keputusan penyelenggaraan Muktamar ke-34 diserahkan ke PBNU. Masa Khidmat PBNU hasil Muktamar ke-33 adalah sampai dilaksanakannya Muktamar ke-34.
Di titik ini gamblang, tetapi buntu. Pj. Rais Aam, pada 25 November, menerbitkan surat perintah kepada SC dan OC untuk menyelenggarakan Muktamar pada 17 Desember. Pendukung arus maju mengganggap perintah Pj. Rais Aam harus dilaksanakan. Dasarnya: Pasal 14 ayat (3) AD NU menyatakan: Syuriyah adalah Pimpinan Tertinggi NU. Kubu kontra menganggap surat perintah berkop PBNU, tetapi ditandatangani sendiri oleh Pj. Rais Aam, tidak punya pijakan hukum. Pertama, Syuriyah itu status kelembagaan, bukan perseorangan. Kedua, Pasal 58 ART NU menyebutkan kewenangan Rais Aam, antara lain, adalah bersama Ketua Umum menandatangani keputusan-keputusan strategis PBNU. Tugas Rais Aam, antara lain, adalah bersama Ketua Umum memimpin pelaksanaan Muktamar. Artinya, tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Ketiga, diktum ketiga keputusan Munas-Konbes Jakarta 2021 menyebutkan, dalam hal jadwal Muktamar tidak dapat terlaksana, keputusan penyelenggaraan Muktamar diserahkan ke PBNU.
Upaya mempertemukan dua arus pandangan ini terus dilakukan. Di forum terbatas, setelah Majma Buhuts yang dihadiri para Masyayikh di Pesantren Asshodiqiyah Semarang, 5 Desember 2021, Pj. Rais Aam dan Ketua Umum PBNU bertemu. Sesuai keputusan Munas dan Konbes Jakarta, Ketua Umum mengusulkan agar jadwal Muktamar ditetapkan oleh Rapat PBNU, yang dihadiri oleh seluruh unsur harian Syuriyah dan Tanfidziyah. Ini solusi dari kebuntuan rapat oleh empat orang: Pj. Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum dan Sekjen. Tetapi Pj. Rais Aam bergeming: Muktamar tetap harus dilaksanakan tanggal 17 Desember. Beliau telah mengeluarkan surat penunjukan, tertanggal 5 Desember 2021, kepada dua orang pengurus Tanfidziyah untuk menyelenggarakan Konbes di Jakarta pada 7 Desember 2021. Di sisi lain, PBNU menerbitkan surat undangan, ditandangani Rais Syuriyah, Katib Syuriyah, Ketum, dan Sekjen, tertanggal 6 Desember 2021, untuk menggelar Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah pada 7 Desember 2021.
Di titik ini, saya sudah membayangkan kemungkinan terburuk. Arus maju ingin mendapatkan legitimasi memajukan Muktamar melalui Konbes di Hotel Bidakara. Pesertanya PW pendukung arus maju. Arus mundur ingin mendapat legitimasi memundurkan Muktamar melalui Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah di kantor PBNU. Ini berarti akan ada dua Muktamar: Muktamar tanggal 17 Desember dan Muktamar tanggal 31 Januari.
Saya cemas, apakah NU akan terbelah? Saya sangat mencintai NU dan berdoa agar itu tidak terjadi. Keajaiban datang. Selasa siang, 7 Desember 2021, Pemerintah mengumumkan pembatalan PPKM level 3 serentak. Artinya, jadwal Muktamar bisa kembali semula. Pj Rais Aam dan Katib Aam, di sela-sela ‘Konbes’ Bidakara, datang ke kantor PBNU. Keempatnya mufakat menerbitkan surat, ditandatangi lengkap. Isinya: Muktamar diselenggarakan di Lampung, 23-25 Desember, sesuai keputusan Munas dan Konbes Jakarta.
Semua orang bersuka cita. NU lolos dari lobang jarum pertama. Selebihnya soal persaingan biasa. Sekeras apa pun kontestasi kandidat, yang penting arenanya sama. Kalah-menang soal biasa.
Dua Agenda
Gara-gara polarisasi maju-mundur, orang tidak ada yang fokus bicara program dan agenda. Semuanya sibuk dengan pemenangan kandidat dan isu penyertanya.
Ada dua aganda internal yang harus dibicarakan dengan kepala dingin. Waktunya bukan sekarang. Mungkin nanti di Munas dan Konbes setelah Muktamar. Soalnya ini isu sensitif. Dua-duanya sudah kadung jadi bahasa ‘marketing’ masing-masing kubu.
Isu pertama adalah mekanisme pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Ini sudah bergulir lama. Sejak Muktamar Jombang 2015, Rais Aam dipilih oleh Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA), tetapi Ketua Umum dipilih secara langsung. Di Munas dan Konbes Banjar 2019, Ketua Umum diusulkan dipilih juga oleh AHWA dan disetujui. Tetapi, Munas dan Konbes Jakarta 2021menganulir keputusan itu. Ketua Umum tetap dipilih secara langsung oleh PW dan PC. Alasannya, memberi hak kepada mereka dalam perhelatan akbar lima tahun sekali.
Keputusan ini harus dibayar mahal. Memang, NU sejak lama memilih Ketua Umum Tanfidziyah secara langsung. Di bursa kontestasi Ketua Umum, terutama sejak era KH Idham Chalid dan transisi ke Gus Dur, Muktamar diwarnai dinamika dan ketegangan. Itu biasa. Tapi sekarang Indonesia masuk era demokrasi liberal. Pasangannya mekanisme pasar. Ini demokrasi biaya tinggi. Partai-partai politik mempraktekkan ini. Ketua-ketua DPW/DPD/DPC dipilih secara langsung. Dampaknya dua: politik uang dan perpecahan. Pemberi mahar paling banyak yang menang. Yang kalah boikot atau loncat partai. Sejumlah Parpol lalu melakukan resentralisasi. Ketua DPW/DPD/DPC ditunjuk oleh DPP. Daerah atau Cabang mengusulkan. Penentunya DPP. Ini mengurangi friksi dan politik biaya tinggi.
Di Munas dan Konbes Cirebon tahun 2012, NU merekomendasikan agar Pilkada langsung ditinjau ulang. Alasannya menimbulkan mudharat: politik uang dan konflik horizontal. Sekarang NU mempertahankan ini. Alasannya, mekanisme AHWA mengamputasi kedaulatan Wilayah dan Cabang. Sekarang lihat fenomenanya: mobilisasi suara akar rumput. Ini mirip Pilpres atau Pilkada. Ada pembelahan dan politik uang. Muktamar sibuk dengan urusan pencalonan, bukan agenda dan program. Setelah riuh rendah Muktamar usai, isu ini harus dibicarakan dengan kepala dingin. Sebaiknya AHWA diberlakukan untuk memilih Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah. PW dan PC datang ke Muktamar, dengan membawa program dan agenda. Kapan ini dilakukan? Periode mendatang, di Muktamar ke-35.
Isu kedua adalah pembatasan masa jabatan Ketua Umum Tanfidziyah. Ini bukan soal membatasi orang mau berkhidmah. Ini mekanisme alamiah organisasi. Di organisasi bisnis, CEO terbaik pun biasanya menjabat paling lama lima tahun. Setelah itu, tidak ada inovasi. Dia terperangkap dalam rutinitas. Di situlah perlunya penyegaran. Orang baru biasanya datang dengan gaya dan semangat baru. Ini penting untuk kelangsungan organisasi. NU adalah jam’iyah diniyah, tentu saja tidak bisa disamakan dengan organisasi bisnis. Ada kekhasan ormas keagamaan seperti NU. Tetapi, tetap saja perlu ada pembatasan, entah dua atau tiga periode. Kaderisasi dan regenarasi mutlak bagi kelangsungan organisasi. Ini juga harus dibicarakan dengan kepala dingin. Kapan berlakunya? Periode mendatang, mulai Muktamar ke-35.
Sekretaris Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)