Merawat Keberagaman Beragama

Oleh: K.H. As’ad Said Ali

Sesungguhnya konsep “ Bhineka Tunggal Ika “ yang ada sejak zaman Majapahit telah mewariskan suatu sistem yang mengatur interaksi hubungan antara umat beragama. Kalau sistem nilai itu dipahami dengan baik, kecenderungan penistaan agama bisa diminimalisasi. Rasanya miris sekali, melihat Yutube yang berisi saling hujat antar umat agama.

Bacaan Lainnya

Kehadiran media komunikasi canggih ,  khususnya medsos , menjadi salah satu sumber permasalahan hubungan antar umat beragama karena kecepatan dan jangkauannya yg sangat luas. Oleh karena itu diperlukan upaya lebih intens untuk memahami  dan merawat “ etika kebhinekaan “ dalam hubungan antar agama atau antar sekte agama.

 Bhineka Tunggal Ika sbg sistem, mengenal “Ruang  Private” dan “Ruang Publik”.  Dalam ruang private , berlaku kebebasan penuh untuk mengekspresikan dan mempraktekkan segenap ajaran agamanya masing-masing. Pendek kata, ruang ini merupakan ekspresi segenap unsur premordialisme setiap agama dan sekte – sekte agama yang berbeda.

Masjid, Gereja, Pura, Wihara, Kelenteng, Padepokan atau jenis ma’bad ( tempat ibadah ) lain adalah Ruang Private. Dalam ruang itulah berlaku kebebasan penuh utk membahas   aqidah dan kepentingan yang berbeda dengan agama atau sekte lain. Bisa juga disebut “ Ruang Bhineka ”  yang perlu dikelola sedemikian rupa agar ruang bhineka tidak keluar mengganggu Ruang Publik.

Sebagai contoh manakala kita membahas konsep ketuhanan yang sarat dg perbedaan dengan agama lain, maka diskusi yang berlangsung sedapat mungkin dilakukan secara internal. Ulama kharismatik asal Magelang, KH Hasan Mangli (almarhum) misalnya tidak pernah menggunakan pengeras suara dalam setiap pengajian dimajlisnya agar tdk didengar orang yang berada diluar.  Berbeda dg jaman sekarang yang acap kali menggunakan pengeras suara, sehingga tidak jarang timbul ketersinggungan antar umat beragama bahkan sesama satu agama yang berlainan sekte dan mazhab.

Sedangkan dalam Ruang Publik kebalikan dari Ruang Private dimana unsur premordialistik tidak boleh dibicarakan. Ruang Publik semata digunakan untuk membahas kepentingan bersama dalam konteks persatuan ( Tunggal Ika ) dan kemaslahatan bersama sebagai suatu bangsa. Dengan kata lain, ruang publik harus bersifat steril dari unsur premordialisme.

Ruang Private, tidak selamanya bersifat verbal  ( lesan ) tetapi juga berisi narasi tertulis seperti buku, majalah, dokumen. Selain materi yang termuat tidak mendiskreditkan agama lain, juga sedapat mungkin ada tanda khusus bahwa terbitan dimaksud untuk keperluan “ internal “ untuk kalangan sendiri.

Pada era Orde baru , untuk memelihara toleransi , cara repressif sering digunakan.  Setelah reformasi,  sesuai dengan semangat kebebasan,  instrumen yang digunakan adalah hukum misalnya “ hate speach”(ujaran kebencian ). Ibarat lalu lintas yang padat, diperlukan rambu rambu dan dalam hal interaksi antar umat beragama, nilai nilai Pancasila adalah rambu rambunya.

Dengan demikian  idealnya setiap warga negara menghayati toleransi sesuai dengan semangat “bhineka tunggal ika”. Didalamnya terkandung “tiga konsep persaudaraan” yang tidak terpisahkan ” yaitu persaudaraan kebangsaan, persaudaraan sesama umat manusia dan  persaudaraan internal suatu agama” Suatu wawasan yang mengedepankan sikap inklusif bukan eksklusif.

KH. As’ad Said Ali (Mantan BIN dan PBNU)

Sumber gambar: nu.or.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *