Menyambut Harlah NU Ke-95: Momentum Meneguhkan Islam Rahmatan Lilalamiin

Oleh: Dr. Asrul Anan, M.Pd.I

Islam ialah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Kemajuemukan dalalm pandangan Islam merupakan sunatullah  yang tidak mungkin dilawan ataupun  diingkari oleh manusia. Setiap orang tentu  akan menghadapi kemajemukan atau keberagaman di manapun dan dalam hal apapun dimuka bumi ini. Oleh karena itu, Islam sangat menghargai keberagaman yang ada  karena Islam merupakan sebuah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling hormat menghormati antara satu dengan yang lainnya.

Bacaan Lainnya

Al-Qur’an secara tegas menyebutkan dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinnya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat (49): 13)

Nabi Muhammad saw. sewaktu beliau melaksanakan haji  wada’ (perpisahan), Nabi Muhammad saw. berpesan antara lain Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas orang Arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang berkulit merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa. (H.R al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah)

Kurangnya menangkap pesan dan menerapkan secara praktis apa yang tersurat dan tersirat dalam surat al-Hujurat (49): 13 menyebabkan umat Islam terjebak dalam hal-hal yang merugikan  Islam  (baca:ummat) sendiri baik dalam hal ukhuwah Islamiyah apalagi pada ukhuwah basyariyah. Hal tersebut yang barangkali menjadi saslah satu penyebab terjadinya konflik sosial di masyarakat yang berkepanjangan dan bahkan seolah-olah tidak akan berujung selama umat Islam tidak mampu memahami dan menerapkan firman Allah tersebut di atas.

Keberadaan dan asal  manusia yang majemuk tersebut hendaknya kita jadikan sebuah mozaik yang mewarnai alam jagad raya ini dan akan menambah khasanah pengetahuan serta budaya  bagi umat manusia (Islam). Apalagi manusia dikodratkan sebagai makhluk sosial yang tentunya akan saling membutuhkan antara sesama manusia dan tidak mungkin dihindari  hubungan antar manusia (hablu min-an nash) itu sendiri baik dalam keluarga, masyarakat dan berbangsa.

Tujuan dari ayat dan hadits tersebut di atas bahwa manusia diperintahkana untuk  saling kenal-mengenal (lita’arofu), semakin kuat manusia mengenali sesama manusia, maka semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Saling mengenalantar manusia diperlukan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian  dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrowi. Ayat dan hadits tersebut telah membangun semua sisi (dimensi) keberadaan manusia di dunia. mulai dengan penciptaan, kemudian menyatakan ke berpasangan: laki laki dan wanita, keduanya kemudian disatukan dalam kelompok kelompok yang besar dan kecil, yang masing-masing diterjemahkan sebagai bangsa dan suku supaya kalian saling kenal mengenal.

Al-Qur’an telah mengenalkan keberagaman dalam arti keragaman budaya berbasis agama, etnisitas, dan lain-lain. Bahkan secara normatif, Alquran mengakui bahwa manusia dijadikan berbangsa-bangsa (shu‘ub) dan bersuku-suku (qaba’il) agar mereka saling mengenal dan menghargai satu sama lain (QS al-Hujurat [49]: 13). Seandainya Allah menghendaki tentu Dia akan menjadikan hanya satu umat di muka bumi ini seperti firman Allah dalam surat al-Shura ayat 8: “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja) tetapi Dia memasukan orang-orang yang dikehendakiNya ke dalam Rahmatnya. Dan orang-orang yang zalim tidak bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong”. (QS. al-Shura [42]: 8):

Islam sangat menolak terhadap fanatisme kejahiliahan, oleh karenya Islam yang rahmatan lilalamin ini harus ditegakan di atas nilai-nilai ketaqwaan bukan tegak dibahwah konsep kekhilafahan (negara) apalagi dengan kekerasan, nasab (keturunan) dan suku ras dan bangsa tertentu. Dengan demikian Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Maka Allah pun menurunkan ayat ini sebagai cegahan bagi mereka dari membanggakan nasab, mengunggul-unggulkan golongan dan menghina kepada kepada sesama muslim bahkan kepada orang-orang non muslim. Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mencontohkan akhlak yang mulia kepada non muslim. Dan Allah menerangkan bahwa keutamaan manusia itu terletak pada ketakwaanya. Dalam Surat An-Nisa ayat 1 disebutkan :

”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.(QS.An-Nisa:1)

Bangsa Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan keberagman dan kemajemukan baik dari suku, budaya, bahasa dan bahkan agama. Islam rahmatan lil alamiin sangatlah relevan dengan kondisi bangsa kita. Bukankah kita sebagai umat Islam Indonesia merindukan sekali terhadab peradaban dan kondisi kehidupan social keagamaan di Madinah yang secara langsung telah dibangun oleh Baginda Rasulillah Saw sekitar 1400 tahun yang lalu?. Tentunya ini sebuah keharusan dan keniscayaan untuk menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin dengan masyarakatnya yang tamaddun (berperadaban), peradaban yang penuh dengan kasih sayang, saling memahami, hormat menghormati terhadap sesama muslim maupun non muslim (toleransi),dengan demikian semua mendapatakan hak hidup yang sama tanpa mendikriminasikan (membeda-bedakan) antara satu dengan yang lainnya.

Kalau dilihat secara obyektif  sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang banyak diperjuangkan oleh para tokoh ulama dan  kyai Nusantara yang (note-bene ahlussunah wal jamaah) yang secara keilmuan kepribadian dan ketaqwaannya tidak diragukan sama sekali dan nilai-nilai tawassut (sikap tengah-tengah), tawazun (sikap seimbang) dan i’tidal (sikap tegak lurus/adil) dan tasamuh (toleran/menghargai) tersebut telah lama menjadi tradisi dikalangan para ulama dan kyai serta kaum ahlussunah waljama’ah di bumi nusantara, ditambah jargon al-muhafadlotu ala al qodimi as-sholih wal akhdu bil jadidi al- ashlah (melestarikan nilai-nilai/tradisi lama yang baik dan mengambil nilai-nila/tradisi baru yang lebih baik) sehingga kaum ahlussunah waljama’ah  mampu menjadi pionir dan teladan dalam  mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam kemajemukan (plural) dan hormat menghormati, memahami dan menghargai perbedaan yang ada atas dasar taqwa dan generasi muda kita tidak akan mengalami kehilangan orientasi (dis-orientasi) dalam mebangun bangsa kita tercinta ini sehingga terwujud sebagai negara yang baldantun toyyibatun wa rabun ghofur yang bertamaddun dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, Amiin ya Robal alamiin.

Dr. Asrul Anan, M.Pd.I (PR I Universitas Yudharta)

Sumber: nu.or.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *