Mengikhlaskan dan Melupakan, Apakah Satu Kesatuan?

Oleh: Zanadia Manik Fatimah
Manusia hidup dengan berbagai lika-liku didalamnya. Bahagia dan duka datang beriringan. Membawa setiap diri untuk menjelajahi berbagai perasaan. Mungkin kita sudah sadar dan yakin bahwa tidak ada kehidupan yang sepenuhnya bahagia dan tidak ada pula kehidupan yang hanya berisi duka. Keduanya pasti bergantian.

Untuk menghadapi kesusahan yang mendera, permasalahan yang tiba-tiba ada, kesedihan yang sering berat dirasa banyak orang menawarkan kata ikhlas untuk menerima. Mungkin sebagian dari kita sering mengatakan “ikhlaskan, lupakan, dan kamu akan lebih tenang”. Lantas apakah pernyataan ini benar?.

Bacaan Lainnya

Ternyata setelah menulusuri jauh lebih dalam, ikhlas itu bukan hanya perihal melupakan suatu kejadian, kesusahan, dan kesedihan. Menurut saya, ikhlas itu justru bertumbuh, belajar, dan menerima segala hal yang pernah hadir dalam hidup. Ikhlas bergandengan dengan sabar. Orang yang sabar akan lebih mudah ikhlas dalam menerima segala ketetapan dalam hidup.

Melupakan bukan bagian dari ikhlas. Segala yang baik dan buruk tidak perlu dilupakan tetapi dijadikan pembelajaran. Ikhlas juga bagian dari proses belajar. Belajar mengenai banyak ilmu hidup yang tidak bisa didapatkan dari bangku sekolah atau bahkan kuliah. Ikhlas itu pembiasaan yang lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Ikhlas mungkin akan sangat berat dilakukan jika tidak diiringi sabar dan syukur. Jadi yang menjadi bagian dari ikhlas adalah syukur serta sabar dan bukan malah melupakan.

Teringat dawuh Gus Baha bahwa ikhlas itu akan mudah dilakukan jika kita berjibaku dan memandang suatu hal dari sudut pandang hakikat bukan lagi syariat. Contohnya saat memiliki uang 10.000 jangan berpikir itu sepenuhnya milik kita. Kembalikan pikiran kita bahwa pada hakikatnya uang itu adalah milik Allah yang dititipkan ke kita. Sehingga ketika uang itu hilang atau berpindah kepemilikan, hati ini bisa ikhlas menerima.

Sejatinya ikhlas itu bukan perihal melupakan. Ikhlas adalah kesadaran bahwa segala yang kita miliki adalah milik Allah. Dengan begitu apa pun yang menimpa dan terjadi pada kita akan lebih mudah untuk dilalui. Tidak terus-menerus menyalahkan diri sendiri, manusia lain, apalagi situasi yang terjadi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *