Siapa yang tak kenal tradisi Diba’an. Kegiatan ini lekat dengan aktivitas menabuh rebana dan lantunan sholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Tak hanya para kaum muda, mulai dari anak kecil hingga orang tua gemar melakukan tradisi ini.
Ada bagian yang dibaca biasa, namun pada bagian-bagian lain lebih banyak menggunakan lagu. Maulid diba’ ini biasanya dilantunkan seminggu sekali ketika malam Jumat di lingkungan pesantren dan masyarakat NU. Bahkan ketika bulan Maulid tiba, diba’an ini dilakukan setiap malam dari tanggal 1 sampai 12, bulan Rabi’ul Awwal.
Namun taukah kalian siapa pengarang kitab ini?
Istilah diba’an ini diambil dari nama pengarangnya yaitu Al-Imam Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar Ad-Diba’i Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi As-Syafi’i.
Ad-Diba’iy, panggilannya, dilahirkan pada 4 Muharam 866 H (8 Oktober 1461 M) dan wafat pada hari Jumat 12 Rajab 944 H (15 Desember 1537 M). Beliau adalah seorang ulama ahli hadis yang mengajar Kitab Sahih Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Saking alimnya, beliau mencapai derajat hafiz dalam ilmu hadis, yaitu seseorang yang menghafal lebih dari 100.000 hadis dengan sanadnya.
Kitab maulid ini merupakan fasal ke-9 dari karangan Syihabuddin Ahmad tentang nasihat dan penyucian diri. Setelah mempelajari dan meneliti kitab itu, Ibn Diba’ lantas meringkasnya dalam dua puluh lima fasal yang kemudian lebih dikenal dengan Maulid Diba’.
Maulid Diba’ merupakan satu dari tiga kitab maulid yang sering disenandungkan di Indonesia. Yang lainnya adalah Maulid al-Barzanjiy dan Maulid Burdah. Maulid Diba’ mempunyai keunggulan akan ringkasnya isi bila dibanding dengan Maulid Barzanjiy, dan isinya lebih tertuju pada maulid Nabi dibanding Burdah yang banyak menyisipkan tema selain sejarah Nabi.
Maulid Diba’ terdiri dari 4 qasidah, 21 natsr (prosa), dan dua ayat al-Qur’an yang terletak usai qasidah kedua. Sebagian pembaca maulid biasanya menyisipkan satu qasidah lagi usai prosa ke-11. Qasidah yang disisipkan ini mirip dengan qasidah yang ada dalam Barzanjiy yang berbentuk syair (bukan natsr).
Meskipun Maulid Diba’ cukup mashur, sayangnya amat sulit ditemukan kitab syarah (penjelasan) akan maulid ini. Berbeda dengan maulid Barzanjiy maupun Burdah yang mempunyai cukup banyak syarah. Namun para pembaca bisa mendapatkan syarah maulid Syaraful Anam yang merupakan cikal bakal Maulid Diba’, dari sebuah kitab yang mempunyai dua judul salah satunya Fath ash-Shamad al-Alim fi syarhi maulid Ibn Qasim, dan al-Bulugh al-Fauziy libayani Alfad maulid Ibn al-Jauziy, karangan Syaikh Muhammad ibn ‘Umar al-Jawiy. (RM)
Tradisi membaca syair pujian dari Kitab Maulid Diba–selain Al Barzanji dan Al Burdah–merupakan salah satu tradisi yang menjadi sasaran kritik kaum Islam puritan. Kaum Islam puritan merupakan kaum yang memposisikan Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang transenden, baku, tak berubah, dan kekal.
Dengan demikian, kaum puritan ini menolak peringatan maulid apalagi disertai dengan ritual-ritual pembacaan puji-pujian. Mereka menganggap peringatan maulid yang dilakukan dengan cara membaca kitab-kitab tersebut adalah perbuatan bidah. Selain dianggap perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi, kaum Islam puritan juga menganggap isi atau apa yang dibaca dalam tradisi diba’an adalah kisah-kisah palsu dan pujian berlebihan sehingga merupakan syirik.
Di tengah pembacaan diba atau barzanji, ada ritual berdiri atau yang populer disebut dengan istilah “mahalul qiyam” atau “marhabanan”. Perkara berdiri pada saat seperti ini pernah dibahas dalam Muktamar NU ke-5 tahun 1930 di Pekalongan, titik bahtsul masa’il pada muktamar ini memutuskan bahwa berdiri ketika diba’an atau barzanji hukumnya sunah, termasuk ‘urf syar’i.
Disarikan dari Islami.co dan almunawwirkomplekq.com