Oleh: Hikmah Imroatul Afifah
Tidak jarang juga para Ibu Nyai tersebut menjadi pejuang tunggal dalam pengelolaan sistem pendidikan. Kiprahnya bagi kemajuan pesantren dan pengembangan potensi perempuan tidak bisa diragukan.
Beberapa waktu terakhir, buku-buku soal feminisme dan gerakan perempuan makin diminati masyarakat, terkhusus kaum perempuan. Diskursus soal perempuan dan kesetaraannya juga makin menyeruak di muka publik. Tentu saja hal ini merupakan angin segar bagi pegiat isu-isu perempuan. Fenomena tersebut bisa jadi adalah sebuah isyarat (tanda) bahwa mulai banyak perempuan yang sadar tentang hak-haknya.
Membincang soal feminisme dan gerakan perempuan, tentu kita tidak lupa dengan sosok RA. Kartini. Meski pada zamannya dahulu istilah feminisme tidak semoncer sekarang, namun spirit yang diusung tetaplah sama. Jika disederhanakan, feminisme adalah perihal upaya memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini dikebiri oleh sistem patriarki. Stereotip gender yang mengakar kuat di masyarakat, berusaha ditepis secara perlahan dengan kehadiran feminisme. Lebih dari itu, ia –feminisme—hadir untuk membuat para perempuan memiliki pilihan atas hidupnya dan secara mindful memilih jalan hidup yang diyakini. Juga penting diketahui bahwa feminisme tidak sekali pun mengajak perempuan untuk melawan laki-laki. Yang diinginkan hanya perempuan mampu berdaya untuk dirinya, bukan untuk mengalahkan siapa-siapa.
Merenungi hakikat feminisme akan membuat kita teringat dengan perjuangan RA. Kartini. Berbagai privilese yang dimiliki membuat RA. Kartini sedikit lebih beruntung dari perempuan lain di masanya. Ayah dan kakeknya yang merupakan pejabat pemerintahan, berhasil membuat Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Kemampuan berbahasa Belanda juga ia peroleh dari kakeknya. Berbekal pendidikan yang diperoleh, pemikiran Kartini jauh melampaui masanya. Kartini merasa harus memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Meski wafat di usia yang terbilang muda, walau jasadnya telah tiada, Kartini tetap hidup di hati banyak orang. Pemikirannya mewaris pada banyak perempuan. Spiritnya abadi, mengaliri nadi-nadi perempuan masa kini. Kartini memang telah tiada sejak 117 tahun yang lalu. Namun, hari ini, kita masih bisa melihat “Kartini” dari dekat. RA. Kartini yang istimewa itu dapat kita jumpai di wajah-wajah para perempuan hebat masa kini, termasuk di wajah para Ibu Nyai.
Para pengasuh pesantren dan istri kiai tersebut adalah salah satu tonggak dalam penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren. Tidak jarang juga para Ibu Nyai tersebut menjadi pejuang tunggal dalam pengelolaan sistem pendidikan. Jamak kita ketahui bahwa banyak di antara Ibu Nyai tersebut yang juga merangkap menjadi kepala sekolah atau kepala madrasah. Kiprahnya bagi kemajuan pesantren dan pengembangan potensi perempuan tidak diragukan lagi.
Di tangan para ibu nyai pula, tidak sedikit santri putri yang potensi dan pemikirannya berkembang dengan cemerlang. Beliau-beliau—para ibu nyai—mendidik para santri untuk menguasai berbagai bidang. Tidak hanya mumpuni dalam ilmu-ilmu fikih, tafsir, akhlak, gramatika bahasa Arab, dan sejenisnya. Para santri juga mahir dalam bidang teknologi, kepenulisan, dan ekonomi kreatif yang akhir-akhir ini sedang menjamur.
Feminisme yang menuai kontra dari beberapa kalangan, nyatanya juga disambut positif oleh banyak perempuan pengasuh pesantren. Selain menjalani peran sebagai pengasuh, tidak sedikit ibu nyai yang tampil di kancah politik. Beberapa juga menjalani multi-peran sebagai pengusaha dan penggerak ekonomi kreatif bagi ibu-ibu rumah tangga. Sebagian lain juga meluangkan waktunya untuk memberi pengajian kepada ibu-ibu yang menjadi orang tua tunggal. Di usia yang lebih muda, putri para ibu nyai—yang biasa dipanggil “Ning”—ini juga tampil di publik lewat tulisan-tulisannya. Kabar yang cukup menggembirakan akhir-akhir ini. Ya, sastra pesantren yang ditulis oleh keluarga dalem pesantren.
Lepas dari peran para ibu nyai dan nawaning (jamak dari kata “Ning”) di ranah publik, beliau-beliau juga punya andil yang cukup besar di ranah domestik. Jika tim Indonesia Tanpa Feminis menyangsikan kehadiran para perempuan feminis di ranah domestik, maka penulis menyarankan mereka untuk sowan dan membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan kisah perjuangan para Ibu Nyai. Beliau-beliau yang masih berkenan bangun dini hari untuk mendoakan keselamatan umat, lalu menggembleng spiritualitas putra-putri juga santri-santrinya, dan tentu saja masih memahami jadwal kiai yang sedemikian padatnya. Hebat, bukan?
Akhir kata, terima kasih, Bu Nyai. Berkat panjenengan semua, kami bisa melihat Kartini dari dekat. Menatapnya lamat-lamat, sembari merasakan keteduhan sekaligus kobaran semangat di tiap dawuh panjenengan. Terima kasih telah menginspirasi, juga menyadarkan kami bahwa menjadi perempuan tidak hanya sigaraning nyawa, tapi juga sigaraning jiwa. Bahwa perempuan bukan kanca wingking, melainkan kanca samping.
Ta’dhim untuk seluruh Kartini masa kini!
feminisme tidak sekali pun mengajak perempuan untuk melawan laki-laki. Yang diinginkan hanya perempuan mampu berdaya untuk dirinya, bukan untuk mengalahkan siapa-siapa.
