Oleh: Ahmad Husain Fahasbu
NU adalah organisasi keagamaan yang didirikan dengan tangis air mata para kekasih Allah Swt. yang memang tulus dalam berjuang di jalanNya. ia juga bukan organisasi yg instan, dalam artian tiba-tiba berdiri berdasarkan satu, dua kali rapat lalu bikin konpers di publik. tidak! NU tidak demikian. ia berdiri setelah proses –baik proses intelektual dan spritual–yang amat panjang dan melelahkan.
dari peristiwa historis yang amat magis itu bisa dipastikan NU adalah organisasi “kramat” yang tak bisa dibuat main-main. dalam bahasa orang Madura “NU itu “nolae” (bikin kualat)” kepada siapapun yang punya keiginan tidak baik kepadanya.
suatu waktu, saya pernah berkesempatan ngobrol secara tertutup dengan salah satu pengurus NU. lama sekali kami berbicara terkait internal NU. saya merasa mendapat momen yang tepat sebab saya kenal lama dengan sosok itu, dan ia menyampaikan apa adanya terkait dinamika dalam tubuh NU.
salah satu pertanyannya saya: apakah benar di NU ada pembiaran terhadap akidah dan pemikiran menyimpang? lalu saya secara spesifik menyebut tokoh atau kejadian yang pernah tersangkut kontroversi.
pertanyaan ini saya paksakan muncul dalam forum itu bukan karena saya tak yakin bahwa dalam tubuh NU ada mekanisme koreksi. apalagi di NU ada yg namanya jajaran Mustasyar, dewan penasihat, yang diisi para kiai, habib, bu nyai sepuh, yang tak hanya matang secara keilmuan tetapi juga pengalaman spritual (mereka memadukan antara ainul bashor & ainul bashiroh)
pertanyaan ini saya munculkan karena terlampau sering orang–bahkan sebagian banyak tokoh–yg kemana-mana menyebut bahwa NU era sekarang terjadi pembiaran penyimpangan akidah, perlu diluruskan dan lain sebagainya.
lalu tokoh yang berbicara dengan saya tersebut memulai menjawab pertanyaan saya. ia menyebut bahwa tesis “pembiaran” tidak pernah ditemukan selama ia aktif selama pengurus. bahkan yang ada ia sering menemukan beberapa kiai dan tokoh memberi koreksi jika ada hal-hal yang dianggap bertentangan dengan NU.
dalam aspek yang lebih jauh, bahkan ada beberapa tokoh tidak sampai menunggu muncul kontroversi meluas. sebagian mereka ada yg langsung melakukan tabayun–dan diberi nasihat-nasihat. wajar para tokoh itu memberi nasehat sebab tanpa adanya kontroversi nasehat-nasehat diperlukan bagi mereka yang lebih junior.
dan yang membuat saya mengernyitkan dahi-selama menyimak cerita dia–para tokoh yang aktif memberi saran dan koreksi itu adalah tokoh-tokoh yang selama ini sering dipandang negatif oleh pembenci NU.
sejak saat itu saya makin yakin bahwa mekanisme kritik dan koreksi dalam tubuh NU tetap berjalan. tanpa penjelasan dari seorang pengurus itu, masalah ini sebenarnya tak usah dipertanyakan. karena tak mungkin para kiai, rame-rame bersepakat dalam kesalahan atau kesesatan. ini mustahil banget.
suatu ketika seorang kawan yang tak suka NU protes kepada saya saat saya menceritakan mekanisme koreksi dalam tubuh NU ini. ia protes:
kalau memang ada proses koreksi kenapa tak disampaikan ke media?
saya jawab:
itu bedanya kamu dengan para kiai sepuh yang memang tulus itu. mereka menasehati untuk memperbaiki kamu menasehati untuk menjadikannya bahan kontroversi.
lalu saya teringat maqolah Imam Syafi’i:
تعمدني بنصحك في انفرادي ….. وجنبني النصيحة في الجماعة
فإن النصح بين الناس نوع ….. من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتني وعصيت قولي ….. فلا تجزع إذا لم تعط طاعه
Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri,
Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian
Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu
Pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku
Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti