Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf
Lik Mus, pamanku, mengibaratkan agama laksana buah pisang. Ada isi ada kulit. Kalau tiada salah satunya, tidak utuh keberadaannya. Demikian kira-kira menurut riwayat Achmad Munjid.
Sebelum berangkat ke Vatikan tiga minggu yang lalu, aku dan Pak Holland, tandemku, terlebih dahulu mendiskusikan strategi seperti biasanya. Ditengah ngobrol, ia memperhatikanku dari ujung kopyah ke ujung sarung. Lalu ngomong diluar topik tematik,
“Menurut saya, saat di Vatikan nanti sebaiknya Anda pakai sarung batik saja seperti ini”, katanya, menunjuk pakaianku.
Aku ketawa,
“Jadi kayak karnaval dong!”
Bertahun-tahun aku keluyuran ke berbagai belahan dunia fana ini, senantiasa aku berjas-dasi di acara-acara resmi. Gaya pakaian macam itu membuatku merasa seperti diplomat.
“No no no!” Ia menggoyang-goyangkan telunjuknya, “Menurut saya ini penting. Anda akan hadir di acara itu sebagai pemimpin agama. Lihat tokoh-tokoh Islam dari Timur Tengah. Mereka selalu hadir dengan jubah dan sorban (‘imaamah) khas mereka. Para imam Katholik pun dengan seragam ordo masing-masing. Demikian pula rabi-rabi Yahudi. Kita perlu tunjukkan ke orang-orang itu bahwa begini ini pakaian khas kyai. Secara psikologis, orang Barat akan respek”.
Walaupun pada mulanya minggrang-minggring, aku menurut. Bahkan kutambahkan ridaa’ (selendang) anugerah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Al Maliki untuk menghias pundakku. Sejatinya, kyai NU tak punya standar gaya berpakaian. Tapi yang paling sering kulihat dari tampilan muballigh di pengajian-pengajian kampung ya begitu itu: jas tutup, sarung, dan ridaa’ menyampir di pundak.
Efek psikologis yang diharapkan Pak Holland dari orang-orang itu menjadi kenyataan. Aku diperlakukan layaknya Imam Besar. Bahkan orang-orang Kristen menyapaku dengan: “Your Imminent” (Shohibas Sumuw), yang artinya kira-kira: Bapak yang luhur. Itu sapaan yang lazim disematkan pada Kardinal Katholik.
Tapi lebih dari segalanya, yang paling membuat perasaanku jadi gimanaaa gitu, adalah saat melihat fotoku bergaya pakaian muballigh ndeso bersama Paus Fransiskus dan tokoh-tokoh lain, jadi seperti sedang marhabanan.
Dan diam-diam aku tahu, diriku disitu cuma kulit belaka. Untung tidak ada yang menginjakku lalu kepleset hingga nggeblag krengkangan.
Seorang kanibal pembunuh serial yang jenius dan karismatik, dingin dan menyeramkan dalam cara yang paling subtil, menjelma wakil Tuhan di bumi, penafsir paripurna ayat-ayat dan kehendakNya, panutan penanggung jawab keselamatan lebih dari 1,3 milyar jiwa manusia. Anthony Hopkins memainkan kedua peran itu dengan sempurna.
Jonathan Pryce tak kalah dahsyatnya. Seorang High Sparrow pemimpin kaum fanatik yang memandang penyiksaan dan pembunuhan sebagai pengabdian agama, menjelma imam yang bertobat dari kesetiaan kepada lembaga untuk setia kepada kemanusiaan.
Barang siapa menonton “Silence of The Lambs” dan “Game of Thrones”, akan merasakan ketakjuban yang tandas akan seni peran yang dipertontonkan secara adiluhung oleh kedua aktor begawan itu dalam “The Two Popes”.
Tapi diatas segalanya adalah memahami pergantian diantara dua paus, dari Paus Benediktus XVI ke Paus Fransiskus, sebagai momentum yang mencerminkan pergulatan Gereja Katolik dalam menghadapi perubahan jaman yang serba bikin mumet dan penuh kesedihan.
Kardinal Joseph Aloisius Ratzinger sejak 1968 menekuni karir sebagai pendeta intelektual yang berjuang mempertahankan “Katholik Salafi” dihadapan tantangan wacana sekuler di Barat, dan meneruskan posisi teologis itu sebagai Paus Benediktus XVI. Tapi deru perubahan peradaban membuatnya merasa semakin berjarak dengan realitas. Idealismenya membentur tembok takdir dunia. Dan ia lantas terpuruk dalam ngungun sepi, menunggu-nunggu Suara Tuhan datang kepadanya dengan perintah yang lebih jelas tetang Apa MauNya.
Ia merasa suara itu akhirnya datang dalam kehadiran seorang Kardinal Jorge Mario Bergoglio, yang ingin mengajukan pengunduran diri dari jabatan keuskupan karena merasa lelah dalam pergulatan yang sulit antara kepentingan lembaga dan desakan rasa kasih-sayangnya kepada manusia. Uskup Argentina itu sendiri mengalami trauma mengerikan ketika membuat pilihan buruk antara menyelamatkan lembaga atau membela manusia, dihadapan teror Junta Militer Jorge Rafael Videlda.
Dalam kehadiran Uskup Bergoglio ke Vatikan untuk mengajukan pengunduran diri itu, Paus Benediktus XVI merasa mendengar Tuhan berkata,
“Pergilah, wahai abdiKu yang setia. Biarkan orang ini menggantikanmu”.
Maka, alih-alih pengunduran diri Uskup Bergoglio diterima, justru Paus Benediktus XVI yang mundur. Kemudian dengan mudah Konklaf memberi suara mutlak, nyaris aklamasi, kepada Uskup Bergoglio untuk menjadi Paus yang baru, Paus Fransiskus.
Paus baru ini membawa gereja ke arah yang berbeda. Ia ingin sepenuhnya mengedepankan pelayanan kepada umat manusia, berjuang demi mereka yang sengsara. “Katholik untuk Kemanusiaan”.
Monsignor Agustinus Agus, Uskup Pontianak, menceritakan kepada saya bahwa dalam suatu pertemuan bersama uskup-uskup seluruh dunia, seseorang bertanya kepada Paus tentang suatu masalah peribadatan.
“Urusan liturgi itu kalian pikirkan sendiri saja”, kata Paus, “Biarkan aku fokus berpikir dan bekerja untuk masalah-masalah kemanusiaan”.
Penulis : KH. Yahya Cholil Staquf (Katib PBNU)