Innna rijala idza takadaro famuhum, bisyataimi yataradzalu akhlaquhum
(Kalau mulutmu kau kotori dengan caci maki, maka akhlakmu menjadi rendah) M. Faishol Fatawi
Dunia telah berubah, jarak dan tempat tidak menjadi penghalang untuk mencari ilmu. Perilaku seseorang ditentukan dengan kedalamannya memahami ilmu. Jika ilmunya dangkal maka akan mudah menyalahkan, mengkafirkan kelompok lain. Dengan ilmu orang akan mampu mengkontrol ucapan dan tulisannya. Jika tidak bisa makan akan menyebabkan orang tersebut menjadi rendah derajatnya.
Seperti contoh, Sugi Nur raharjo atau biasa dipanggil Gus Nur masuknya ke penjara menjadi pelajaran bagi siapa saja. Disebabkan karena tidak bisa menjaga mulutnya. Menghina Ketua Umum PBNU dan organisasi Nahdlatul Ulama. Begitu banyak cacian dan makian bahkan umpatan dari sosok Sugi jejaknya di digital. Beberapa bulan kemudian, tepatnya akhir September 2020 Ustadz yang sangat dikenal sifatnya yang keras kalau bicara. Memiliki nama lengkapnya Soni atau bagi pengikutnya disebut Ustadz Maher At Taulibi. Masuk penjara dikarenakan menghina Ulama Habib Luthfi Pekalongan melalui komentar di Instagram.
Di akhir Desember 2020, seseorang yang dianggap Imam Besar Islam yang bernama Muhammad Riziq Syihab dipenjara ditetapkan sebagai tersangka pasal penghasutan pasal 160 KUHP. Pasal 160 berbunyi “barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500”
Hukum di Indonesia tidak pandang bulu, baik itu keluarga presiden, bupati, walikota, anggota DPRD, rakyat biasa atau dengan status Ustadz sekalipun. Jika bersalah, maka harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Karena kita semua adalah orang yang tinggal di Indonesia dan beragama Islam. Dan pemahaman seperti ini, hari ini hilang. Ribuan orang aksi turun ke jalan di berbagai daerah. Mereka menuntut kepada pemerintah, di antaranya: segera membebaskan Imam besarnya dari penjara dan stop hentikan kriminalisasi ulama. Orang yang sudah dinyatakan tersangka disuruh dibebaskan dari penjara, kan lucu!.
Bagi penulis, tidak ada ulama yang dikriminalisasikan. Bagaimana mungkin pemerintah melakukan diskriminasi. Umat Islam diberikan leluasa untuk berdakwah, mengumandangkan adzan dengan suara keras, setiap muslim diberikan kesempatan untuk sholat lima waktu. Para kyai dan ulama mengajarkan kitab di pondok-pondok pesantren. Adapun, jika ada ustadz atau ulama yang saat ini sedang di penjara. Itu tidak lain karena ulah lisan dan tangan mereka. Lisan yang tidak mengajak orang untuk berbuat baik dan tangan tidak digunakan bermedsos dengan akhlak yang baik pula. Maka, perilakumu menunjukkan siapa dirimu. Terimalah akibatnya, yang mereka lakukan adalah mengajak orang untuk memusuhi institusi polri, TNI dan pemerintah. Jadi, mereka mengkriminalisasikan dirinya sendiri.
Ini yang harus dipahami para pengikut dan orang yang sedang aksi teriak di jalanan. Jangan sampai taklid buta semata, sehingga membutakan kebenaran dan kebathilan yang diperbuat oleh seseorang. Ia kan seorang dzuriyah Rasul?. Tetap menghormati dan sayang, namun apabila berurusan dengan hukum Indonesia tetap diproses. Hanya Rasul saja yang ma’shum (terhindar dari dosa dan salah). Umat Nabi Muhammad SAW itu meyakini bahwa Allah tidak melihat baju apa yang kamu pakai, anak siapa kamu, namun Allah melihat ketaqwaan dalam hati diri seseorang (innallah yandzuru ila qulubikum).
Kejadian di atas merupakan pengingat bagi kita semua, untuk senantiasa berbicara harus hati-hati. Bukankah salamatul lisan fi hifdzil lisan (keselamatan seseorang terletak pada menjaga lisan). Jika tidak mampu menjaga lisan, lebih baik diam. Lisan ini tidak hanya pada arti tekstual mulut, namun dalam arti kontekstual era kini yaitu terwakili dengan media sosial. Medsos tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Jika tidak memiliki adab dalam bermedsos maka, siap-siap penjara menanti. Sebagaimana Soni yang dikenal dengan sebutan Ustadz Maher Thuwailibi.
Medsos bagian tidak terpisahkan oleh semua orang. Dibutuhkan edukasi kepada facebookers, para twitter, Instagram, dan aplikasi online lainnya. Gunakan hal yang bermanfaat, yang mampu membuat orang berfikir positif. Salah satunya adalah dengan mengucapkan kebaikan melalui lisan dan tangan. Ini merupakan dinamakan dengan jihad bil lisan masa kini. Jihad bil lisan yang bermakna bersungguh-sungguh dalam berdakwah melalui tulisan dan tangan. Bukan sebaliknya, lisan dan ketikan tangan di gadget membuat orang semakin membenci, memaki dan saling membantu dalam kemungkaran. Jika itu dilakukan, yang terjadi akan seperti kasus di atas.
Disamping jihad melawan nafsu yang sering disampaikan oleh para Ustadz, dibutuhkan juga jihad melawan berita hoax dan kebencian di tengah multikulturalisme Indonesia dengan tulisan dan lisan. Hal ini sudah dicontohkah oleh para Kyai dan Ulama NU. Kiai Husein Muhammad dengan dakwah tulisannya terbukti menulis berbagai buku, Gus Mus dengan rutinitas ngaji bakda Isya’ di youtube, Gus Baha’ dengan kealiman dan kepakarannya dalam Tafsir dan ulama’ lainnya. Mereka mengajarkan agama dengan penuh santun dan lembut. Tidak ada umpatan dan hujatan di dalam berdakwah.
Yoyok Amirudin, Dosen FAI Unisma, Pengurus LP Ma’arif Jawa Timur dan S3 Candidate National Pingtung University Taiwan