Oleh: Tutik N. Janah
Pertanyaan “kapan nikah”, merupakan pertanyaan yang sebenarnya cukup sensitif. Baik bagi orang yang ditanya, maupun bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya. Terutama apabila pertanyaan tsb diajukan kepada seorang perempuan. Tapi belakangan saya juga memahami, bahwa laki-laki pun pada usia tertentu juga merasakan “ketidaknyamanan” jika pertanyaan “kapan nikah” mulai kian sering disinggung pada berbagai kesempatan.
Saya pun dulu pernah merasakan hal yang sama. Saat usia merangkak 24 tahun, sementara saudara perempuan saya yang lain telah menikah di usia kurang dari 20 tahun, tentu saya juga merasakan betul, bagaimana perasaan insecure itu muncul. Apalagi di saat keluarga besar berkumpul pada suatu acara, pertanyaan “kapan nikah” sudah layaknya menjadi semacam momok yang menakutkan.
“Kapan nikah?”,
“kapan punya anak?”,
“Kapan mantu?”,
Demikian mungkin urutan dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang terlontar hanya dengan maksud basa basi. Namun dapat berdampak pada munculnya kekhawatiran-kekhawatiran yang pada akhirnya mendorong sebagian orang untuk mengambil keputusan yang kurang tepat. Keputusan yang kurang tepat di sini, baik disebabkan karena tekanan, ataupun kekhawatiran karena munculnya mitos-mitos yang beredar.
Padahal menikah itu bukan sekedar ijab-kabul. Dalam pernikahan dibutuhkan:
1) kesiapan fisik (terutama terkait dengan kesehatan reproduksi laki-laki/perempuan)
2) kesiapan mental (untuk membentuk keluarga yang memahami hak dan kewajiban, saling bekerjasama dan membangun pengertian dalam mendidik anak dan menunaikan hak & kewajiban, saling menguatkan dalam tugas domestik dan publik, dsb.),
3) kesiapan spiritual (memaknai hakikat pernikahan sebagai wasilah mencapai sa’adatuddarain. Bahwa pernikahan adalah tempat utk saling berlomba dalam kebaikan, tidak saling menyakiti dan tidak saling merendahkan).
4) Kesiapan finansial (kesiapan finansial bukan berarti menikah harus kaya terlebih dahulu. Akan tetapi kesiapan finansial lebih pada kesadaran atas tanggungjawab dan planning untuk bekerjasama dalam memperkuat ekonomi keluarga).
Lalu, bagaimana jika pertanyaan “kapan nikah?” Itu sudah sampai pada batas “kenyinyiran yang hakiki”?
Dalam menghadapi kondisi ini, yang perlu diatasi pertama adalah diri kita sendiri. Sebetulnya, pertanyaan kapan nikah itu, tidak menjadi persoalan, apabila kita mampu berdamai dengan diri kita sendiri.
1) Yakinkan diri bahwa, jodoh yang tepat akan datang pada saat yang tepat.
2) Melakukan penguatan diri agar tidak mudah terombang-ambing dengan pertanyaan-pertanyaan yg kontra produktif.
3) Lakukan hal-hal positif untuk meningkatkan kualitas diri.
4) Memotivasi diri untuk selalu husnudzon dan berdoa kepada Alloh agar dipertemukan dengan jodoh terbaik kita pada saat yang tepat.
Tulisan ini merupakan ringkasan materi yang saya sampaikan pada saat menjadi narasumber WEBINAR PRA-NIKAH dengan tema “ketika mereka bertanya kapan nikah”, yang diselenggarakan oleh KKN MDR IPMAFA, kelompok KARTALA. Insya Alloh saya akan meneriskan catatan inidengan ringkasan tanya-jawab dari peserta webinar tersebut.