Kematian yang di Rindukan

Oleh: Gus Ridwan
(saat mengisi perkuliahan Ilmu Bayan di Kelas Jurusan BSA Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang dengan pengembangan bahasa oleh penulis)

Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi beberapa orang. Bukanlah ketakutan yang dirasakan, tapi kerinduan. Seolah puncak dari kerinduan yang dipendam akan segera tiba. Puncak kerinduan itu adalah bertemu dengan sang Maha Rindu. Kerinduan yang selalu hadir dalam segala setiap perbuatannya. Kerinduan yang dipendam dalam setiap hidupnya. Baik saat wudhu, shalat, shodaqoh, haji dan amalan lainnya semua dipenuhi rasa rindu.

Bacaan Lainnya

Saat kematian datang, pintu gerbang bertemu sang perindu terbuka lebar. Jika diibaratkan, orang tersebut seperti orang yang ingin bertemu presiden. Untuk memenuhi hasrat itu, ia rela melakukan berbagai cara.. Mulai dari kirim surat, menghadap langsung ke ajudan pribadinya dan lain sebagainya. Dan setelah sekian lama melakukan usahanya tersebut, presiden akhirnya merespon semua kerinduannya. Dia dipanggil ke istananya untuk menghadap dan bertemu dengannya. Begitu bahagianya dia. Terkurasnya waktu, pikiran dan fisik yang dia curahkan untuk pertemuan itu seolah tidak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang didapatnya. Bertemu yang dia rindukan.

Begitu juga dengan beberapa orang yang rindu bertemu dengan Allah. Segala amal ibadah di penuhi rasa rindu sampai akhirnya ia dipanggil menghadap sang Maha rindu. Sedikit dari orang-orang yang tenang menghadapi kematian tersebut adalah mertua kyai marzuqi yang di Lamongan. KH Ahmad Nur. Seperti yang selalu diceritakan Abah kyai padaku. Begitu tenangnya beliau menghadapi kematian, seolah tidak terjadi sesuatu apapun yang mengejutkan bagi sanak keluarga. Ceritanya, saat itu ketika malam idhul fitri, beliau masih sibuk mengurusi zakat fitrah. Kira-kira pukul 22.00 beliau merasa kelelahan. “Kesel aku” keluh beliau. Akhirnya, beliau istirahat di kamar. Setelah kira-kira 1-2 menit, beliau sudah tidak ada. Dipanggil oleh yang Allah sang Maha Kuasa. Begitu tenangnya. Begitu bahagianya beliau. Kerinduannya yang selama ini di rasakan akan segela terobati.


Selain itu, hal yang sama yang diceritakan Abah kyai kepadu seperti apa yang dialami oleh KH. Abu Bakar Muhammad yang saat itu sebagai dosen di IAIN (UIN Malang). Secara struktural, beliau menjabat sebagai Ketua Majlis tarjih Muhammadiyah Malang. Tapi secara kultural beliau biasa melakaukan amalaiyah NU. Seperti wiridan setelah sholat, ketika khutbahpun menggunakan tongkat, ketika subuh menggunakan qunut. Beliau seriang mengaji dan mengkaji kitab-kitab kuning seperti Ihya ulumuddin karya Imam Ghazali, Hikam karya Ibnu Atthaillah dan lain-lainnya. Beliau adalah orang yang kenceng. Tidak mau mengkonsumsi atau menggunakan sesuatu yang syubhat. Contohnya bakso. Karena kehati-hatiannya, beliau tidak makan bakso. Takut jika dalam memproses pembuatan bakso itu, ada sesuatu yang tidak diperbolehkan ikut dicampur. Kecuali jika penjual bakso tersebut dikenalnya sebagai orang yang tidak pernah bolong sholatnya dan baik perilakunya. Selain itu, ketika beliau akan ke kampus. Beliau tidak pernah naik angkot atau bemo karena takut dalam angkot tersebut ada perempuannya. Begitu juga ketika zaman orde baru. Dalam hal jabatan, beliau hanya 1 atau 2 kali naik jabatan. Karena saat itu, orang yang ingin naik jabatan harus melewati ‘prosedur’ yang di tentukan (suap). Padahal secara keilmuan, beliau bisa saja memeliki jabatan sebagai Profesor Lengkap dengan pangkat 4 E. Dan saat tu beliau hanya berpangkat 3 C. betapa beliau tidak menghiraukan pangkat jabatan. Tepat 2 hari sebelum meninggalnya, beliau ceramah kultum di masjid at-tarbiyah. Dalam ceramahnya tersebut beliau berpesan “Barangkali jika ada hal yang menyangkut diri saya (meninggal) nanti mata kuliah Hadis saya biar dilanjutkan Ust Marzuqi” padahal saat itu Kyai Marzuqi, secara struktural, menjabat sebagai ketua PCNU kota Malang. Tetapi hubungan hati di antara keduanya tidak di ragukan. Dua hari setelah beliau dawuh seperti itu, menjelang sholat dzuhur, istiqomahnya, beliau selalu persiapan sebelumnya. Ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Setelah berwudhu, beliau merasa pusing. Rupa-rupanya beliau yakin itu akhir dari hidup nya di dunia. Dalam keadaan berwudhu itulah beliau meninggal dunia.

Begitu juga yang baru-baru ini terjadi. KH Abdul Maun. Salah satu ulama dari Lamongan beliau sahabat karib mertua Kyai Marzuqi. Beliau adalah seorang aktifis dakwah yang tanpa kenal lelah. Ngurusi Nu. Kira-kira 4 har sebelum meninggalnya, beliau mengikuti acara PKPNU (Pelatihan Kader Penggerak NU) di Batu. Saat itu, ketika pukul 3 malam para peserta ddi bangunkan untuk shalat tahajjud bersama. Dalam rekaman, terlihat bagaimana belaiau menghormat bendera merah putih dan mencium benddera NU. Empat hari setelah mengikuti pelatihan itu, yang salah satu pematerinya adalah KH marzuqi, beliau di panggil oleh Allah. Begitu tenangnya. Seolah tanpa beban berat meninggalkan dunia ini.
Dan yang terakhir adalah cerita tentang Abah KH Maruqi sendiri. KH Mustamar. Beliau meninggal diusia yang hampir memasuki 90 tahun. Kebiasaan nya ketika beliau masih hidup adalah bangun malam pukul 02.00 untuk ibadah. Tepat pada tanggal 09 ramadhon beliau, seperti biasanya, bangun untuk mengambil air wudhu. Sudah sampai kamar mandi. Setelah itu, beliau merasakan tubuhnya begitu lemas. Akhirnya di bawalah beliau ke kamar oleh Adiknya KH Marzuqi, Pak Taufik. Selang beberapa menit terucaplah dari bibir belia “Allah Allah Allah”. Setelah itu, meninggal dunia.

Dari cerita-cerita di atas, begitu tenangnya mereka menghadapi kematian. Siap dengan segala kondisi dan keadaan. Kuncinya adalah jangan serakah, jangan ambisius dan jangan bernafsu (mengejar dunia). Di barengai dengan ikhtiar maksimal, doa maksimal dan pasrah maksimal. Pasrah yang beneran. Jangan pasrah yang banyol-banyaolan. Seperti seseroanh di tanya “bagaiamana hidup mu” “oh, hidupku seluruhnya ada dalam kepasrahan. Anak saya pasrahkan ke ibu mertua. Biar dia yang urus. Belanja saya pasrahkan ke istri. Enak kalau kita pasrahkan semuanya. Itulah pelajaran hidup yang harus kita pegang. Itu semua sesuai dengan Dawuh Nabi Muhhamad SAW.
مات المرء على ما عاش عليه
Orang itu akan mati sesuai dengan kkebiasaan sehari-hari.
Seperti kisah-kisah yang di ceritakan, bagaimana Kyai Abu bakar membiasakan diri sudah selalu siap ketika mau shalat dzuhur. Maka, meninggalnya pun ketika akan melaksanakan shalat dzuhur dalam keaddaan sudah berwudhu. Begitu juga dengan KH Mustamar. Beliau membiasakan diri bangun malam. Maka, meninggalnya pun ketika akan melaksanakan ibadah dan dalam keadaan suci. Pun, KH Ahmad Nur. Karena memiliki kesalehan yang bukan hanya individu saja, tapi juga sosial maka meninggalnya pun ketika beres membagikan zakat fitrah. Mungkin ada orang ynag istiqomah gendaan, bisa jadi mati nya dalam keadaan seperti itu.


Oleh karena itulah Nabi Muhammad memerintahkan kepada kita untuk selalu membiasakn diri melakukan kebaikan. Supaya nanti ketika kita mati nanti, kita sedang melakukan kebaikan. Dalam salah satu Hadis nya di katakan
اتق الله حيث ما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun dan kapan pun. Dan ikutkan lah kejelekan dengan kebaikan.
Dalam ayat tersebut terdapat lafadz حيث yang secara artinya di mana pun dan kapan pun. Kenapa di terjemahkan di mana pun dan kapan pun? Alasanya, karena lafadz حيث itu bisa bermakna ظرف الزمان (keterangan waktu) dam ظرف المكان (keterngan tempat). Kalau sesekali kesandung dosa atau kesalahan, maka segeralah tutupi dengan kebaikan. Supaya dosa-dosa tersebut dapat terhapus.
ان الحسنة يذهبن السيئة
“Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus kesalahan-kesalahan”
Dalam lanjutan hadis tersebut dijelaskan, bahwa jika kita sudah berakhlak bagus kepada Allah , maka selanjutnya kita harus memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia. Dan perlakukanlah orang lain dengan perlakuan yang baik. orang lain itu siapapun, baik orang yang dekat dengan kita maupun tidak. Ukuran minimalnya adalah kita tidak mendzolimi mereka. Meskipun kita belum bisa membahagiakan mereka. Apalagi jika kita bisa berbuat baik lebih dari itu kepada mereka. Misalnya memberikan shodaqoh atau hadiah. Jika pun belum bisa maka mendoakan adalah jalan terbaik dan mudah jika kita memang niat ingin memberikan kebaikan kepadanya. Atau jika tidak bisa seperti itu, maka harus bisa mandiri. Kerja untuk dirinya. Sihngga tidak merepotkan orang lain. Kalau puni tidak bisa, minimal kita tidak menyakiti mereka. Semoga kita semoa bisa khusnul khotimah. Imam yahya bin Muadz ar-razi dalam kitab tanbihul ghafilin berkata:
ليكن حظ المؤمنين منك ثلاث خصال لتكون من المحسنين، أحدها أنك إن لم تنفعه فلاتضره والثاني إن لم تسره فلاتغمه والثالث إن لم تمدحه فلاتذمه
Hendaklah ada bagian dari seorang mukim dalam dirimu pada 3 perkara, maka engkau termasuk bagian dari orang-orang yang berbuat kebaikan. Pertama, jika engkau tidak dapat memberikan manfaat, maka jangan membahayakannya. Kedua, jika engkau tidak dapat membahagiakannya, maka tidak boleh menyusahkannya. Ketiga, jika tidak dapat memujinya, maka tidak boleh menghinanya.
Waalahu a’lam.

Sumber Foto: nahdlotululama.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar