Idealitas Pimpinan NU; Destiny, Blessing, and Competence

logo nu

Oleh: Abdul Malik Karim Amrullah

Menjelang muktamar NU ke 34 ini diramaikan dengan isu yang seksi yaitu siapa yang pantas memimpin NU kedepan. Isu ini menyeruak hangat dibincangkan karena NU sendiri sebagai ORMAS terbesar tentu sangat menentukan juga pada dinamika kepemimpinan NKRI, sehingga posisi NU betul-betul strategis dalam percaturan politik bangsa, karenanya dinamika pemilihan ketua NU tentu sangat menarik ditunggu bahkan diulas bahkan ada semacam “credo” tentang kepemimpinan NU bahwa faktor “spiritual blessing” juga menjadi penentu yang menjadi pemimpin NU, sehingga berimbas pada rumor juga bahwa ketua NU harus dicalonkan bukan mencalonkan.

Bacaan Lainnya

Terlepas dari rumor tersebut saya tertarik pernyataan gus Miftah dalam acara webinar kebangsaan yang dilaksanakan UNISMA, beliau mengemukakan ide yang cukup menarik tentang kriteria pemimpin NU kedepan yaitu aspek manajerial dan leadership harus menjadi pertimbangan utama, tidak harus seorang ulama’ yang berilmu tinggi seandainya tidak ada, karena sudah diakomodir oleh seorang rois AM, kemudian harus memiliki networking yang luas, juga harus memiliki visi yang jelas dan relevan, kemudian gus Miftah menambahkan lagi harus adaptif dengan perubahan, melek tekhnologi dan bisa masuk lingkaran milenial.

Sebagai organisasi yang besar sebenarnya NU ini cukup unik ketika menghadapi problem masyarakat yang terus berubah, karena prinsip yang dianut juga sangat fleksibel yaitu merawat tradisi dan tidak menolak modernism yang membawa kebaikan. Prinsip ini terbukti ampuh menguatkan eksistensi NU di tengah perubahan paradigma masyarakat yang sangat cepat.

Prinsip tersebut juga berlaku dalam struktur organisasi NU mulai awal berdiri hingga saat ini, dimana ada perpaduan antara representasi tradisionalis dan modernis, kita lihat komposisi rois am dan ketua tanfidz sejak awalnya NU berdiri, mulai dari duet Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’rai sebagai representasi ulama’ tradisional dengan Kyai Hasan Gipo yang representasi tokoh profesional modern. Penunjukan H. Hasan Gipo sebagai  Ketua Tanfidziyah NU Pertama mendapati perlakuan khusus, seperti halnya terbentuknya NU waktu itu. pasalnya sosok H. Hasan Gipo ini merupakan sosok yang limited edition, dimana beliau menguasai ilmu umum yang didapatinya sewaktu mengenyam pendidikan di Belanda dan juga beliau dikenal sebagai satu-satunya orang dari komunitas (pwnu,2020)

Kemudian komposisi KH Abdul Wahab Hasbullah (1947-1971), KH Bisri Syansuri (1971-1980), KH Ali Maksum (1980-1984) sebagai rois am sebagai representasi tokoh tradisional dengan KH Idham Cholid sebagai representasi tokoh modern sejak 1952-1984 sebagai ketua tanfidz, kemudian duet rois syuriah KH Ahmad Shidiq (1984-1991), KH Ali Yafie pjs (1991-1992), KH Ilyas Ruhiyat (1992-1999) dengan KH Abdurahman Wahid sebagai ketua tanfidz (1984-1999) juga mewakili tradisionalis dan tokoh pergerakan modern, kemudian duet KH Sahal Mahfudz (1999-2014) dengan KH Hasyim Muzadi juga mewakili ulama’ tradisionalis dan ulama’ modern, dan yang sekarang duet KH Mustofa Bisri (2014-2015), KH Ma’ruf Amin (2015-2018), KH Miftahul Akhyar (2018-2021) dengan ketua Tanfidz Prof Dr KH Said Aqil Sirodj mencerminkan duet antara ulama’ dan ulama’.

Dinamika komposisi antara rois syuriah dengan ketua tanfidz antara kyai dengan profesional, kyai dengan tokoh pergerakan, tradisionalis dengan modern serta tandem kyai dengan kyai tersebut membuat NU selalu bisa beradaptasi dengan berbagai macam suasana. Setidaknya ada beberapa kriteria yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan pada ketua tanfidz (ketua pelaksana) baik ditingkat pusat maupun daerah yaitu harus terpilih dari Anggota Ahlul halli adalah perwakilan dari orang-orang yang berpengaruh dan penting di dalam umat, karena dalam wilayah yang luas dan umat yang banyak tidak mungkin satu orang diwakili satu orang, dan semua menjadi anggota ahlul hall (Mukafi Niam, NU Online 2014). Seperti yang terjadi pada muktamar NU 2015 menetapkan 9 kiai sepuh menjadi anggota forum Ahwa, sembilan ulama itu bukan ulama biasa. Mereka adalah ulama yang dianggap mumpuni dari segi keilmuan, karisma, dan kemasyhuran serta kemampuannya dalam bidang agama Islam.

Sedangkan rois am NU merupakan jabatan pemimpin yang memiliki kharisma, spiritual dan ilmu keagamaan yang dalam Rais ‘Aam adalah jabatan ‘shohibul maqom’, tidak boleh ditempati kecuali oleh orang yang memang telah mencapai maqom yang sesuai. Di dalam maqom itu terkandung kriteria: faqiih (memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu syari’at) dan mutawarri’ (terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis). Hal itu karena Nahdlatul Ulama bukan sekedar organisasi biasa, tapi merupakan ‘qiyaadah diiniyyah’, yaitu acuan keagamaan bagi warganya. Maka Rais ‘aam sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dari tuntunan dan bimbingan keagamaan yang diberikan oleh Nahdlatul Ulama kepada warganya haruslah seorang yang sungguh-sungguh menguasai seluk-beluk ajaran keagamaan yang menjadi haluan Nahdlatul Ulama, terutama dalam bidang syari’at. (Detik, 2015)

Ada analisis yang cukup menarik dari romo Beni bahwa Pemimpin NU harus bisa membaca tanda tanda zaman sebagaimana yang pernah dilakukan oleh gus Dur dulu dimana saat terjadi kepemimpinan diktator, maka gus Dur mampu menggerakan masyarakat sipil dan menelorkan tokoh-tokoh muda NU yang progresif yang mampu memadukan antara agama dan demokrasi sehingga sumbangan gus Dur saat itu adalah membangun kemajemukan dan tata peradaban dunia yang mampu menjembatani segala perbedaan. Sekarang eranya adalah era digital yang ditandai oleh runtuhnya hegemoni kapitalis yang dulunya penguasa tunggal beralih pada kekuatan personal dengan hanya mentwet di dunia maya saja, maka pemimpin NU setidaknya memiliki tigak hal pokok yaitu pengetahuan, technologi dan komunikasi, dimana harus mampu merebuat ruang publik digital dan menjadi komunikator publik digital ini, karenanya pemimpin NU harus akrab dengan dunia digital, juga NU harus mampu menjadi jangkar perdamaian dunia, karena NU termasuk organisasi Islam terbesar dunia, karenanya pemimpin NU harus mampu tampil ke publik internasional dan mempengaruhi tata dunia global sebagaimana yang dilakukan oleh gus Dur

Walhasil, idealitas pimpinan NU harus betul-betul mampu menjawab tantangan zaman, apalagi NU menuju 100 tahun harus mampu menjadikan frame kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan juga bisa menjadi frame dalam perkembangan teknologi, sehingga tatanan kehidupan yang dibingkai dalam frame ini menjadi model tatanan peradaban ideal dunia. Karenanya pimpinan NU kedepan harus mampu membaca tanda-tanda zaman yang sekarang ini sangat sulit ditebak (uncertanty), sosok yang mampu membaca tanda-tanda zaman seperti ini harus memiliki spiritualitas yang kokoh, karena dengan spiritualitas yang kokoh, maka dia akan mudah mengantisipasi perubahan dunia yang tidak menentu ini. Wallahu a’lam bi al-sawab. Abdul Malik Karim Amrullah | Dosen FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Ketua PC Lakpesdam NU Kab Malang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *