Akhir-akhir ini ramai di pemberitaan media tentang pemakzulan pemimpin secara paksa . Pemakzulan sendiri merupakan upaya untuk menurunkan pemimpin secara paksa melalui strategi politik. Bagaimana menurut pandangan islam tentang pemakzulan itu sendiri?
Masalah pemakzulan pemimpin ini telah dibahas pada Muktamar Ke-33 NU, awal Agustus 2015 di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ulama sepakat, bahwa wajib hukumnya taat kepada pemimpin selama ia menjalankan amanatnya dan tidak boleh memberhentikannya tanpa alasan yang dibenarkan.
Permasalahan muncul ketika seorang pemimpin seperti pemimpin negara, daerah atau organisasi dipilih dengan basis dukungan suara terbanyak. Apalagi dukungan suara terbanyak dianggap segala-galanya.
Anggapan seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat, kesalahan sedikit seorang pemimpin digunakan alasan untuk upaya memberhentikan kepemimpinannya. Sebaliknya pemimpin yang melakukan kesalahan besar, oleh karena mempunyai dukungan politik dan suara yang besar, tetap dipertahankan.
Forum ini memutuskan bahwa, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata melanggar konstitusi. Jika telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melanggar konstitusi, maka pemimpin boleh dima’zulkan dengan cara:
a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri
b. Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertobat, maka ia dapat dimakzulkan dengan aturan yang konstitusional selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar
c. Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melakukan hal-hal yang menyebabkannya dapat diberhentikan, maka proses tahapan pemberhentiannya harus berjalan sesuai dengan tahapan konstitusi yang ada.
Peserta forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang mengutip antara lain Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An-Nawawi:
الرابعة: لا يجوز خلع الإمام بلا سبب، فلو خلعوه، لم ينخلع، ولو خلع الإمام نفسه، نظر، إن خلع لعجزه عن القيام بأمور المسلمين لهرم أو مرض ونحوهما، انعزل
Artinya, “Keempat tidak boleh memakzulkan pemimpin tanpa sebab. Kalau kelompok masyarakat mencoba memakzulkannya, maka kedudukannya sebagai pemimpin tetap sah, tidak termakzulkan. Tetapi kalau pemimpin mengundurkan diri, maka mesti dipertimbangkan, apakah pemakzulan dirinya berkaitan dengan ketidakmampuannya melaksanakan roda pemerintahan masyarakat sebab faktor lansia, sakit, atau selain keduanya, niscaya ia telah termakzulkan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz VIII, halaman 369-370).
Dengan putusan ini, pemakzulan tidak boleh dilakukan tanpa alasan konsitusional. Pemakzulan tidak boleh dilakukan atas dasar suka atau tidak suka, atau dukungan politik, atau berdasarkan dugaan tanpa pembuktian hukum.