Oleh: Supriyanto Martosuwito
100 TAHUN USMAR ISMAIL – Haji Usmar Ismail merupakan sosok yang komplet dan multidimensi. Tak hanya berkutat di dunia film, dia juga seorang penyair, cerpenis, penulis naskah, hingga sutradara teater. Ia juga seorang wartawan dan pengusaha hiburan malam.
Usmar pernah menjadi pendiri dan redaktur Harian “Patriot”, redaktur majalah bulanan Arena, Yogyakarta (1948), “Gelanggang”, Jakarta (1966-1967). Ia juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947).
Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi. Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di Kantor Berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda—RI di Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948.
Aktif juga di bidang sosial dan politik, Usmar adalah Ketua Umum Lembaga Seniman Muslimin Indonesia (Lesbumi) (1962-1969), anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1964-1969), dan anggota DPRGR/MPRS (1966-1969).
Dewan Kesenian Jakarta menggelar beberapa diskusi daring tentang Usmar Ismail, menyambut 100 tahun usianya pada 2021 ini. Salah satu diskusi yang menarik ialah mengenai karya Usmar Ismail pada periode pasca-kemerdekaan, 1950-1970-an. Kala itu, Usmar melahirkan karya-karya dengan situasi dan dinamika politik yang naik-turun. Apalagi, selain sebagai sineas, ia terjun di dunia politik.
Di mata pengamat film Adrian Jonathan, karya-karya Usmar pada periode tersebut tak bisa dilepaskan dari situasi politik yang penuh dinamika. Ia berusaha menghimpun tema yang ada meskipun tidak secara komersial.
“Sejak awal dia berjuang, struggle. Sejak awal kemerdekaan lalu masuk ke demokrasi terpimpin, ia terjepit dan perekonomian merosot,” ujar Adrian, sebagaimana diberitakan laman Tempo.
Bambang Prihadi, Ketua Komite Teater DKJ, mengatakan Usmar memantapkan perangkat film yang lahir dari dunia teater. Ia menyiapkan naskahnya dan aktornya terlebih dulu yang berasal dari dunia teater. Film Usmar dimainkan oleh aktor yang terasah dari teater.
Naskah-naskah karya Usmar, menurut Bambang, menyampaikan kegelisahan hati dan menyuarakan zaman. “Kelihatan sekali perjuangan Usmar untuk menegakkan fondasi teater modern yang didasari nasionalisme yang kuat, ” katanya dalam diskusi daring, “100 tahun Usmar Ismail”, Maret 2021 lalu.
Usmar menulis naskah sandiwara dan mendirikan Teater Maya pada era pendudukan Jepang. Bersama Asrul Sani, Usmar mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menjadi cikal bakal Institut Kesenian Jakarta.
Dalam dunia teater, ketika tonil berjaya dengan banyak cerita dari Barat, Usmar memilih tak ikut arus.
Usmar harus menyesuaikan dengan situasi di mana produksi juga tak bisa maksimal karena gonjang-ganjing politik, terutama menuju 1965 dan setelahnya. Para seniman, termasuk Usmar, menjadi ikut terpolitisasi.
Usmar merupakan sosok yang pantang menyerah. Ia berjibaku dalam menghidupkan film dengan kerja kerasnya. Sayangnya, usaha Usmar sering tak dihargai, bahkan ditipu orang. “Usmar ini seorang produser yang kreatif, tapi bukan seorang yang pintar cari uang,” ujar Lisabona. Dia juga menyebutkan, meski menjadi politikus, Usmar adalah sosok yang mempunyai etika.
Usmar lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921, dan meninggal di Jakarta pada 2 Januari 1971. Ia menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, MULO di Padang, AMS Yogyakarta, kemudian belajar sinematografi di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat, pada 1952.
Berbagai penghargaan telah diperoleh, diantaranya : Piagam Diploma Di Partecipazionale Mostra Internazionale D` Arte Cinematografica yang dianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh Presidente Biennale di Venezia pada tahun 1959, pada tahun 1962 ia mendapatkan Piagam Wijayakusuma dari Presiden Sukarno. Penghargaan Wijayakusuma merupakan penghargaan bagi insan seni yang berjasa kepada negara.
Bagi Sukarno, Usmar Ismail adalah sutradara yang sesungguhnya.
Beberapa kali beliau menerima penghargaan baik dari Pemerintah Republik Indonesia, yaitu pada tahun 1969 beliau menerima Anugerah Seni; tanggal 30 Juni 1996 memperoleh Piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama yang dianugerahkan Presiden Republik Indonesia; dan, pada tanggal 06 Agustus 1997, menerima Piagam Tanda Kehormatan Satyalencana Kebudayaan.
H. Usmar Ismail meninggal di Jakarta, 2 Januari 1971 pada umur 49 tahun. Namanya diabadikan sebagai gedung perfilman di Kuningan, Jakarta Selatan.
Tiga film yang diputar untuk memperingati Hari Film Nasional dan seabad Usmar Ismail adalah “The Big Village”, “Asrama Dara”, dan “Lahirnya Gatotkatja”. Tak hanya di Kineforum, beberapa film karya Usmar, seperti “Lewat Djam Malam” dan “Anak Perawan di Sarang Penyamun”, ditayangkan di Kinosaurus. *
SAYA MENDUKUNG H. USMAR ISMAIL SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL.
Lembaga Dakwah PBNU
Lesbumi PBNU
PP GP. Ansor
PP Muslimat NU
PP Fatayat NU