Godaan di Pondok Putri

Oleh: K.H. Ma’ruf Khozin
Di masa kecil saya tumbuh berada di tengah-tengah Pondok Raudlatul Ulum Putri Ganjaran Gondanglegi, Malang. Rumah Abah kami tepat antara pondok putri di sebelah timur rumah saya dan musola putri di sebelah barat saya. Sehingga santri putri berseliweran lewat di depan rumah saya. Belum lagi saat santri putri ke rumah untuk menemui Umi saya, baik ngaji atau izin pulang.

Apa tidak tergoda? Kata teman saya yang pernah bermain ke pondok. Saya jawab: “Namanya juga orang laki-laki… Tapi Alhamdulillah sejak kecil kami sudah dididik tidak boleh bersalaman dengan wanita yang bukan mahram. Kami juga diajarkan budaya malu kalau berhubungan dengan santri putri.”

Bacaan Lainnya

Pada intinya bagi keluarga kami yang menjadi pengontrol dan rem adalah ilmu fikih yang memfilter mana yang boleh dan tidak boleh. Saya yakin hampir semua Pondok Pesantren yang memiliki asrama santri putri pasti menerapkan peringatan dini tersebut baik para Kiainya, Gus dan santri putra yang punya akses ke pondok putri.

Namanya oknum tentu mesti ada dalam semua lini. Sama, di TNI Polri ada oknumnya, di akademisi ada pula oknumnya. Di kalangan politisi juga. Kali ini nama pesantren kena getahnya, dari oknum pemangku pondok putri. Tentu harus dihukum, karena semestinya pengasuh tersebut mengerti hukum Fikih namun melanggar, tentu hukumannya harus lebih berat.

Semoga kita tetap diberi perlindungan oleh Allah dalam mendidik para santri agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang. Bagaimana pun mencela orang lain tidak diperbolehkan:

ﻣﻦ ﻋﻴﺮ ﺃﺧﺎﻩ ﺑﺬﻧﺐ ﻟﻢ ﻳﻤﺖ ﺣﺘﻰ ﻳﻌﻤﻠﻪ

“Barangsiapa yang mencela saudaranya karena perbuatan dosa maka dia tidak akan mati sebelum melakukan dosa yang sama” (HR Tirmidzi)

Hadis ini dinilai palsu oleh Syekh Ibnu Jauzi. Namun ada riwayat penguat dari Tabiin, Hasan Al-Bashri:

ﻛﺎﻧﻮا ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻣﻦ ﺭﻣﻰ ﺃﺧﺎﻩ ﺑﺬﻧﺐ ﻗﺪ ﺗﺎﺏ ﻣﻨﻪ ﻟﻢ ﻳﻤﺖ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﺘﻠﻴﻪ اﻟﻠﻪ ﺑﻪ

Barangsiapa yang menuduh saudaranya dengan dosa, padahal ia telah bertaubat, maka ia tidak akan mati hingga Allah menguji dengan dosa tersebut (Faidh Al-Qadir, 6/183)

Bukankah sudah banyak bukti ada oknum pejabat melalukan korupsi lalu ada yang menghujat dan mencela, anehnya setelah pencela dapat giliran menjadi pejabat ternyata melakukan korupsi lebih parah. Naudzubillah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *