Pada hakikatnya, unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa biasanya dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan orang-orang yang tidak setuju dengan pemeritah dan yang menentang kebijakan pemerintah. Namun, unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.
Praktiknya, tindakan demonstrasi terkadang dapat menyebabkan perusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan. Dalam hal ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo memberi penjelasan mengenai bagaimana Islam memandang aksi demonstrasi. Dia memaparkan, di dalam Alquran maupun hadits, memang tidak ada yang mengulas aksi unjuk rasa secara tekstual. Di zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat Khulafaur Rasyidin, pun tidak ada aksi unjuk rasa yang beramai-ramai turun ke jalan. Termasuk, imam dari empat mazhab populer juga tidak memberi ulasan soal demonstrasi karena tidak terjadi di zaman itu.
Menurut Huzaemah, aksi demonstrasi berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. “Ayat dan hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar ini banyak. Menyampaikan pendapat atau saran itu sebagai amar ma’ruf. Jadi dasarnya pada amar ma’ruf nahi munkar,” kata Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) ini. Oleh sebab itu, Islam membolehkan aksi demonstrasi selama tidak anarkis. Nabi Muhammad saw., sebelum berperang, selalu berpesan kepada para Sahabat untuk tidak merusak tanaman ataupun pepohonan, dan tidak membunuh orang tua, perempuan maupun anak-anak.
Jadi, aksi demonstrasi merupakan tindakan wajar karena masyarakat hanya ingin menuntut haknya kepada pemerintah terkait suatu kebijakan yang dinilai merugikan mereka. “Mereka menyampaikan pendapat untuk mengingatkan pemerintah maupun DPR tentang apa yang menjadi haknya, jadi wajar mereka menyampaikan,” tambahnya.
Menurut hasil bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) putra Se-Jawa-Madura pada Rabu-Kamis (2-3/6) yang dimuat dalam redaksi NU Online, demonstrasi damai adalah aktivitas legal untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak populer guna menyuarakan aspirasi rakyat. Namun sejauh manakah Islam mengatur etika kepatutannya?
Demontrasi sebagai sarana atau media ber-amar ma’ruf nahi mungkar atau menyampaikan tuntutan dan aspirasi memang pada umumnya berpotensi menimbulkan penghinaan dan lain-lain yang dapat menjatuhkan kewibawaan pemerintah. Maka seharusnya hal itu tidak perlu dilakukan, demikian hasil keputusan bahtsul masail ini. Demontrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun dan memenuhi kepatutan dalam dua hal. Pertama terkait kepatutan substansi. Misalnya terjadi penyimpangan dari aturan syari’at atau peraturan yang berlaku atau disepakati, atau hal yang di tuntut dan diaspirasikan sudah menjadi keniscayaan untuk dilaksanakan. Kedua terkait kepatutan cara, misalnya diyakini (dhon qowy) sebagai alternatif terakhir atau paling efektif dalam menyampaikan aspirasi dan dilakukan oleh pendemo yang berkompeten dalam permasalahan yang sedang didemokan.
Direkomendasikan agar aksi demonstrasi tetap menjaga kemaslahatan dan ketertiban umum, tidak berpotensi menimbulkan tindakan anarkis, dan tidak dilakukan dengan perkataan, perbuatan dan simbol-simbol lain yang mengarah pada pelecehan atau penghinaan. Hasil bahtsul masil juga menyatakan tidak sepakat dengan aksi demontrasi beberapa waktu lalu yang menggunakan kerbau atau menginjak-injak photo presiden. Demonstrasi dengan cara-cara tersebut dipahami sebagai bentuk penghinaan (ihanah) kepada presiden sebagai pemimpin negara.