Di Kampus Saya, Menjadi Presma Hanyalah Impian Saat Maba Semata

Dulu menjadi seorang presiden mahasiswa adalah impian terbaik yang dimiliki oleh saya. Saat menjadi mahasiswa baru (maba) saya melihat seseorang memegang microphone berdiri di depan semua maba sembari lantang meneriakkan “Sumpah Mahasiswa Indonesia.” Hati tergetuk sembari membayangkan suatu saat nanti saya akan menjadi presiden mahasiswa (presma).

Keinginan itu kembali menguat, ketika melihat mas Fathur pertama muncul di Narasi TV lalu dipuja oleh banyak srikandi di negeri ini. Sembari membayangkan suatu saat menjadi endorse shopee diundang ke Mata Najwa. Pokok seingat saya, saat maba banyak yang bercita-cita menjadi presma. Tetapi, lambat laun impian itu mulai luntur seiring bertambahnya pengetahuan tentang kondisi organisasi di kampus.

Bacaan Lainnya

Untuk maba yang ceria selain rentan salah pilih jurusan dan salah masuk organisasi, salah dalam bercita-cita atau impian juga berbahaya untuk keberlangsungan masa depan. Bagi saya cita-cita menjadi seorang presma adalah salah satu bentuk salah cita-cita. Jelas saja, cita-cita itu harus setinggi langit dek, jangan nanggung, sekalian kalau punya impian itu jadi presiden Indonesia, biar nanti kalau impiannya jatuh minimal jadi presiden tingkat desa.

Perlu diingat, menjadi presiden mahasiswa bukanlah cita cita, bahkan jauh lebih mulai bercita cita menjadi seorang pak ketua RT, itu menurut saya pribadi. Karena menjadi presma hanya selesai saat di kampus, setelah menjadi alumni bingung terluntang lantung ke sana kemari. Anehnya, berdasarkan hasil survei pengamatan sosial yang saya lakukan sejarah tidak pernah mencatat  kesuksesan karir presiden mahasiswa. Bahkan  presiden Indonesia dari awal kemerdekaan hingga presiden Jokowi tidak ada yang mantan presiden mahasiswa.

Menjadi presma itu cukup dilema, segera berbenah dan cabutlah impianmu sekarang sebelum terlambat. Saya mengatakan hal tersebut ketika mendapat pengakuan dari cerita seorang teman yang kebetulan sekarang menjabat presma di salah satu kampus swasta, kota Malang. Ia juga mengaku punya impian jadi presma sejak maba, impiannya kini bisa terwujud tetapi hatinya dilema antara senang dan bingung.

Senang karena bisa mencapai apa yang diimpikannya selama ini, ‘menjadi seorang presiden mahasiswa.’ Di bayangan teman saya, menjadi presma itu seperti presiden Indonesia, punya paspampres, ada istana, bisa tanda tangan surat-surat dengan tutup mata, ternyata jauh dari harapan.

Saat sebelum jadi presma ia memiliki banyak waktu untuk berlibur, malam minggu bersama kawan, atau hanya sekadar ngopi sederhana. Presma bagi dia itu dilematis, melihat dari sejarah pembentuk badan eksekutif mahasiswa perannya sudah membuat bingung sejak awal.

Awal kebingungannya dimulai saat perubahan kondisi yang secara tetiba jadi serba daring. Perlu saya tegaskan, sebutan presma itu untuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat Universitas, sebab di kampus saya untuk tingkat fakultas, disebutnya gubernur.

Kata kawan saya itu, jadi presma itu membingungkan, apalagi dengan kondisi covid-19 baru saja dilantik harus memikirkan ulang berbagai program kerja. Dalam bahasa penyampaiannya, ia selalu mengulang kata ‘dinamis,’ padahal hatinya ‘dilematis.’

Kebingungan pertama, saat terlalu banyak mengadakan agenda yang berbasis event, tiba-tiba ada yang mengkritisi begini ‘ini BEM apa event organizer, kok kerjaannya event terus.’ Saat aksi, BEM berupaya di garda terdepan, dikiranya cari eksistensi buat angkat nama siapa tahu jadi kayak presiden mahasiswa yang diundang ke stasiun televisi, ini gerakan yang salah lagi menurut dia. Kalau tidak ada kegiatan sama sekali, itu salahnya bejibun, udah repot cari suara, pas terpilih malah ditinggal ngelindur.

Bagi teman saya, posisi presiden mahasiswa harus serba ikhlas. Sebab di struktur republik mahasiswa kampus saya, posisi presma masih dilihat siapa presidennya, bukan sebagai satu kesatuan organisasi yang utuh. Jadi, ketika BEM itu salah, ya yang salah presmanya. Sementara wakil, para menteri, dan staf hanya sebagai pelengkap semata.

Sebenarnya, jadi mahasiswa baru boleh saja punya impian tinggi, bahkan cita-cita jadi presiden Indonesia itu sah-sah saja. Tapi, saya aneh ketika ada yang punya impian jadi presma. Udah enggak dibayar, anggotanya suka ngilang, tanpa jatah liburan pula.

Cerita itu kata teman saya yang kebetulan jadi presiden mahasiswa. Belum tau kalau di kampus lain, bisa jadi berbeda. Sejauh saya mengamati, presma dari semua kampus yang ada di Indonesia belum pernah sampai pada tahapan jadi presiden Indonesia. Jadi untuk maba yang bercita-citalah jadi presiden Indonesia, jangan jadi presma.  

Penulis: Mafan (Mahasiswa di suatu kampus, yang dulunya bercita-cita jadi presma)

sumber: serikatnews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *