Beratnya Mengatasi dan Adaptasi Pandemi Di Pesantren

Entah saya yang kurang sempurna aqidahnya, atau bagaimana, berkali-kali saya diingatkan oleh kawan sesama santri alumni pesantren untuk melepas masker, “wedi kok ning corona, wedi kui ning gusti Allah”, atau “sampeyan iki lapo ae gus, cangkem kok di sumpeli”. atau ada yang komen, gus ton kui kyai pemerintah, mesti yo mesti menganjurkan bermasker.

menurut saya hawatir kita dengan penularan corona tidak sebanding dengan khauf billah yang diperintahkan. hawatir dengan penularan sama halnya mau nyebrang jalan tengak tengok agar tidak tertabrak kendaraan. ” apakah kehawatiran tertabrak setara dengan khauf billah?” terlalu remeh kan?

Bacaan Lainnya

tapi kenyataannya… mereka yang nda mau bermasker itu, saat tertular ternyata tidak sedikit yang nda berani menyatakan dirinya tertular. minta dirahasiakan seolah aib. tentu ini menurut saya berbahaya, orang-orang yang pernah bertemu dengan mereka tidak bisa antisipasi.

beberapa orang cerita, sekampung pernah batuk, tapi beres dengan empon-empon…. tanpa harus bermasker dan jaga jarak. dan banyak lagi.

awal kali ada wabah, 1 orang santri yang biasa belanja sabun untuk loundry santri2 ternyata positif, *saya minta ke puskesmas untuk dirahasiakan dan berupaya menangani sendiri dengan pendampingan dari satgas covid nu dan alhamdulillah sembuh.

tapi pada sekitar 1 bulan lalu, saat ternyata santri saya 9 orang yang positif. saya tidak lagi berharap menutup-nutupi lagi, bahkan saat ditelpon puskesmas, saya mempersilahkan dijemput ambulan atau kalau perlu membawa polisi atau tni seperti jemput paksa. sebagai bentuk edukasi pada tetangga-tetangga pondok yang los doolll, juga terhadap santri-santri yang mulai bosan bermasker dan keluar sembunyi-sembunyi. (alhamdulillah tinggal 1 yang masih dirawat di RS)

dua minggu lalu, saya ditegur oleh ketua yayasan yang kebetulan mas dokter, karena tidak konsisten kalau melarang santri keluar tapi pengasuhnya masih keluar masuk… akhirnya saya rapat terbatas dan memutuskan pengasuh yang masih keluar masuk pondok tidak boleh bertemu santri, ngaji via daring. pesantren dikelola penuh oleh pengasuh yang nda makaryo diluar pesantren. moga ihtiyar ini benar2 menyelamatkan para santri dari wabah ini.


sebagai ketua RMI kota Malang, saya juga harus memaksakan diri mendampingi satgas covid nu untuk mengedukasi pesantren. tidak mudah ternyata, bicara covid saja dibeberapa pesantren sudah ditertawakan, atau bahkan ada yang ngendikan: “shampton kui sopo kok melu ngriwuki pondokku”

tapi kenyataannya ada pesantren yang santrinya dipulangkan semua setelah kyainya kapundut. sedih… tapi mau gimana lagi, pesantren punya hak penuh ngurusi diri sendiri, tidak terikat dengan siapapun.

kadang kalau ditanya dinkes, gus pondok itu gimana ya, kami saja sangat hawatir kok dipondok masih santai-santai. saya tidak bisa jawab.

beberapa kali diminta dinkes mendampingi mereka untuk mengedukasi pesantren, tapi wa akhiru dakwahum… para peserta dari pesantren pesantren berkata: “lha kewenangan penuh ada pada kyai, kami hanya santri”

sedih rasanya setiap minggu hampir selalu ada kyai yang kapundut, tapi mau gimana lagi, edukasi kesehatan selalu dibenturkan dengan dalil agama. seolah tidak mungkin disingkronkan. atau masih butuh di bahts masailkan?

KH. Achmad Shamthon Masduqie
( Ketua RMI kota Malang)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *